Ketika pengajuan anggaran proyek SKRT 2007 ini dibahas di DPR, Tamsil duduk di Komisi IV yang bermitra dengan Kementerian Kehutanan. Akhirnya, menurut Tamsil, DPR menyetujui pengajuan anggaran proyek SKRT tersebut. Ketika itu, Kementerian Keuangan meminta SKRT dilanjutkan karena proyek itu merupakan kerja sama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat (government to government).
"Itu ada dana loan (pinjaman) dari Pemerintah Amerika," sambung Tamsil.
Selama diperiksa sebagai saksi Anggoro hari ini, Tamsil mengaku diajukan pertanyaan oleh penyidik KPK, salah satunya mengenai surat dari Kemenkeu terkait SKRT tersebut.
"Diminta untuk saya menilai apakah benar ini (surat) ada ketika itu," kata Tamsil.
Selain itu, Tamsil mengaku kembali menjelaskan soal uang yang pernah disodorkan Anggoro kepadanya. Ia mengakui, Anggoro pernah memberikan uang dalam amplop agar DPR menyetujui pengajuan anggaran SKRT. Namun, menurut Tamsil, uang itu sudah dia kembalikan kepada Anggoro.
Selain menerima uang dari Anggoro, Tamsil kembali mengaku pernah menerima uang dari Yusuf Erwin Faishal, anggota DPR yang menjadi terpidana kasus SKRT. Uang itu pun, kata Tamsil, sudah dikembalikan kepada KPK.
"Ada yang ke KPK, yang lewat orang lain. Ada yang ke Pak Anggoro, yang langsung Pak Anggoro serahkan, dikembalikan ke Pak Anggoro," katanya.
Ihwal pemberian uang dari Anggoro dan Yusuf ini pernah diakui Tamsil saat dia bersaksi dalam persidangan kasus Yusuf di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sekitar 2009. Yusuf divonis 4,5 tahun penjara terkait kasus suap alih fungsi hutan lindung menjadi Pelabuhan Tanjung Api-api, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan dan terkait proyek SKRT.
Untuk proyek SKRT, Yusuf terbukti menyetujui penerimaan uang sebesar Rp 125 juta dan 220.000 Dolar Singapura dari PT Masaro Radiokom yang diwakili Anggoro Wijaya dan David Angka Wijaya.