Awalnya, remaja kelas 2 SMP tersebut mengaku memilih menjadi anak jalanan lantaran tidak ingin menyusahkan neneknya. Sejak usianya 7 tahun, ia sudah dititipkan di rumah neneknya lantaran ayah dan ibu tirinya yang bercerai. Sejak saat itu, Deddy belum pernah bertemu dengan ayahnya. Bahkan sampai saat ini Deddy juga belum pernah bertemu dengan ibu kandungnya.
Selama menjadi anak jalanan, Deddy sering kali mendapatkan tindak kekerasan oleh sesama teman anak jalanan. "Ya namanya juga anak jalanan, sering dipalakin, dipukulin juga kalau misalnya enggak kasih uang setoran ke senior," ujar Deddy di Rumah Singgah Kumala, Jumat (21/3/2014).
Bahkan, kata Deddy, teman-teman yang lain banyak yang mendapatkan tindak kekerasan hingga menyebabkan luka lebam di sekujur tubuh mereka. Saat masih menjadi anak jalanan, ia mengaku sering mengamen dan menjadi bajing loncat di daerah Tanjung Priok Jakarta Utara. Setiap harinya ia harus menyetor sebagian penghasilannya kepada koordinator anak jalanan.
Namun, remaja yang bercita-cita menjadi insinyur ini bersyukur karena dirinya tidak lagi menjadi anak jalanan. Ia kembali mengenyam pendidikan yang sempat ia tinggalkan selama menjadi anak jalanan.
Deddy mengatakan, awalnya ia sering kabur karena tidak terbiasa dengan kehidupan di rumah singgah. "Dulu, sih awal-awal sering kabur juga, tapi sekarang enggak. Lebih enakan di sini (rumah singgah), bisa lebih mandiri dan bisa sekolah," ucap Deddy.
Direktur Eksekutif Yayasan Kumala Dindin Komarudin mengatakan, pihaknya memang melarang anak binaannya kembali ke jalanan. Mereka wajib bersekolah dan mengikuti kegiatan pembinaan seusai pulang sekolah.
"Jadi mereka kita adakan pembinaan supaya enggak balik lagi ke jalanan," ujar Didin.
Anak binaan juga mendapat pelatihan membuat kertas daur ulang ataupun kerajinan tangan bernilai ekonomis. Dengan demikian, kendati tidak mengamen, mereka tetap bisa mendapatkan penghasilan. Mereka juga diberikan uang pembinaan sekitar Rp 28.000 hingga Rp 35.000 per harinya.
"Ya namanya juga anak jalanan, banyak juga yang seperti itu, datang ke beberapa yayasan, buat mendapatkan uang pembinaan saja," ujarnya.
Ia menambahkan, sebenarnya bukan hanya faktor ekonomi saja yang menyebabkan banyak anak turun ke jalan. Kebanyakan, kata Didin, justru mencari sosok orangtua yang tidak mereka dapatkan di rumah.
"Mereka nyaman dengan abang-abangan mereka walaupun harus menyetor, tapi mereka justru merasa dilindungi, tidak seperti orangtua yang mereka temui di rumah, makanya kami di sini berusaha agar para anak jalanan mendapatkan figur itu di sini," jelasnya.
Saat ini, Rumah Singgah Kumala memiliki 19 anak binaan yang tinggal di sana, dan 140 orang yang ikut pembinaan saja karena masih mempunyai keluarga. Menurut Didin, kegiataan pembinaan tersebut bermanfaat untuk mengajarkan kemandirian kepada para anak jalanan. Bahkan pelanggan hasil kerajinan tangan ataupun kertas daur ulang yayasan kumala merupakan perusahaan besar nasional.
"Mereka (anak binaan) juga banyak yang menjadi pelatih pembuatan kertas daur ulang di perusahaan-perusahaan besar seperti Pertamina, Chevron, jadi hadiah juga kan buat mereka tinggal di rumah singgah, bisa keliling Indonesia," ucapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.