Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yang Lalu Muncul dari Korupsi Akil

Kompas.com - 24/02/2014, 09:40 WIB

KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi mendakwa mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dengan enam dakwaan kumulatif, terdiri dari 4 perkara korupsi terkait penanganan sengketa pemilihan umum kepala daerah di MK dan 2 perkara tindak pidana pencucian uang. Dakwaan yang, jika terbukti, bisa mengantar Akil dibui seumur hidupnya.

Untuk perkara korupsi, dakwaan jaksa menyebutkan, Akil menerima hadiah berupa uang untuk memenangkan 15 perkara sengketa pilkada di MK. Jumlah uang yang diminta Akil dari pihak-pihak yang ingin dimenangkan dalam perkara sengketa pilkada juga bervariasi. Pada sengketa Pilkada Kabupaten Lampung Selatan, Akil hanya meminta
Rp 500 juta. Itu tarif suap termurahnya. Namun, dalam sengketa Pilkada Kota Palembang, Akil memasang tarif Rp 19,86 miliar. Hampir Rp 20 miliar. Tarif suap termahal Akil untuk memenangkan perkara sengketa pilkada di MK.

Dugaan korupsi yang dilakukan Akil, apabila terbukti, jelas memiliki banyak konsekuensi serius dan masalah hukum. Ada potensi konflik di daerah yang sengketa pilkadanya ditangani Akil dan dalam dakwaan disebutkan ada suap mengalir kepada mantan politikus Partai Golkar itu.

Lihatlah dalam kasus sengketa Pilkada Kota Palembang. Berdasarkan keputusan KPU Kota Palembang, pasangan Sarimuda dan Nelly Rasdania memperoleh suara terbanyak 316.923 suara. Namun, perolehan suara mereka hanya berselisih 8 suara dengan pasangan Romi Herton dan Harno Joyo yang meraup 316.915 suara. Romi pun mengajukan permohonan keberatan atas hasil Pilkada Kota Palembang ke MK. MK membentuk panel hakim konstitusi untuk memeriksa permohonan keberatan tersebut dengan susunan, Akil sebagai ketua merangkap anggota, sementara Maria Farida Indrati dan Anwar Usman masing-masing sebagai anggota.

Dalam dakwaan KPK disebutkan, Akil menghubungi orang kepercayaannya, Muhtar Ependy, agar Romi menyiapkan sejumlah uang supaya permohonannya dikabulkan. Lalu pada 16 Mei 2013, Romi melalui istrinya, Masitoh, menyerahkan uang Rp 12 miliar dan Rp 3 miliar dalam bentuk dollar AS kepada Akil melalui Muhtar. Pada 20 Mei 2013, putusan MK menyatakan membatalkan penghitungan suara KPU Kota Palembang dan menetapkan perolehan suara yang benar adalah pasangan Romi-Harno 316.919 suara dan pasangan Sarimuda-Nelly, yang dalam penghitungan KPU meraih suara terbanyak, hanya mendapat 316.896 suara.

Hal hampir sama dengan sengketa Pilkada Kota Palembang terjadi pada sengketa Pilkada Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan. KPU menetapkan pasangan Joncik Muhammad-Ali Halimi sebagai pemenang. Namun, bupati petahana Budi Antoni Al Jufri lewat Muhtar Ependy meyampaikan rencana mengajukan keberatan ke MK. Rencana itu diteruskan Muhtar ke Akil. Dalam dakwaan KPK, Akil menerima Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS dari Budi melalui Muhtar. Putusan MK dalam sengketa Pilkada Kabupaten Empat Lawang memenangkan Budi.

Gejolak karena cacat

Putusan-putusan yang sebelumnya diduga dikeluarkan setelah Akil menerima suap dari pihak yang beperkara sejatinya jelas cacat. Dalam dakwaan KPK, ada 15 perkara sengketa pilkada yang diduga diwarnai suap ke Akil. Apabila semua dakwaan ini terbukti, cukup bagi lawan-lawan politik kepala daerah yang saat ini berkuasa setelah putusan MK tersebut untuk mempersoalkannya.

Bisa dibayangkan gejolak yang terjadi di Palembang atau Empat Lawang jika nanti dakwaan terhadap Akil yang menerima suap terkait sengketa pilkada di dua daerah tersebut terbukti. Bagaimana reaksi
pendukung Sarimuda di Palembang atau Joncik di Empat Lawang?

Potensi konflik di daerah-daerah ini terbuka lebar jika hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Akil terbukti bersalah menerima suap untuk memenangkan pihak tertentu dalam sengketa pilkada di MK. Belum lagi, jika Akil terbukti menerima suap, para penyuapnya yang jelas disebutkan dalam dakwaan, kepala daerah yang akhirnya menang dengan putusan MK, bisa diseret sebagai tersangka.

Apabila mereka menjadi tersangka, wakilnya yang akan maju menggantikan. Pertanyaannya, apakah wakil-wakilnya tak terlibat dalam penyuapan tersebut karena mereka satu paket dalam pilkada, termasuk satu paket juga dalam upaya memenangkan sengketa di MK? Yang berarti, wakil kepala daerah pun sebenarnya bisa diduga terlibat menyuap Akil.

Dakwaan terhadap Akil jika terbukti juga menyisakan persoalan hukum yang sampai saat ini belum ada jalan keluarnya. Putusan MK termasuk dalam sengketa pilkada adalah final dan mengikat. Bagaimana jika ternyata, putusan yang final dan mengikat itu dalam prosesnya terbukti lewat cara yang tidak sah karena ada suap yang diberikan kepada hakim?

Dalam dakwaan jaksa juga disebutkan, Akil menerima uang sejak menjadi hakim konstitusi biasa atau sebelum menjadi Ketua MK. Berarti suap tersebut sudah lama terjadi. Lalu kenapa, lembaga dengan kewenangan luar biasa seperti MK tak pernah bisa mengendusnya. Tak adakah pengawasan super ketat terhadap hakim-hakim di MK sehingga Akil bisa leluasa sejak lama menerima suap? Sayangnya, saat tak ada pengawasan internal yang memadai, beberapa hari yang lalu MK membatalkan UU yang mengatur pengawasan terhadap hakim-hakimnya. (KHAERUDIN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Habiburokhman: Judi 'Online' Meresahkan, Hampir Tiap Institusi Negara Jadi Pemainnya

Habiburokhman: Judi "Online" Meresahkan, Hampir Tiap Institusi Negara Jadi Pemainnya

Nasional
Baru 5 dari 282 Layanan Publik Pulih Usai PDN Diretas

Baru 5 dari 282 Layanan Publik Pulih Usai PDN Diretas

Nasional
Penerbangan Garuda Indonesia Tertunda 12 Jam, Jemaah Haji Kecewa

Penerbangan Garuda Indonesia Tertunda 12 Jam, Jemaah Haji Kecewa

Nasional
Perdalam Pengoperasian Jet Tempur Rafale, KSAU Kunjungi Pabrik Dassault Aviation

Perdalam Pengoperasian Jet Tempur Rafale, KSAU Kunjungi Pabrik Dassault Aviation

Nasional
Cek Harga di Pasar Pata Kalteng, Jokowi: Harga Sama, Malah di Sini Lebih Murah

Cek Harga di Pasar Pata Kalteng, Jokowi: Harga Sama, Malah di Sini Lebih Murah

Nasional
Kasus Korupsi Pengadaan Lahan JTTS, KPK Sita 54 Bidang Tanah dan Periksa Sejumlah Saksi

Kasus Korupsi Pengadaan Lahan JTTS, KPK Sita 54 Bidang Tanah dan Periksa Sejumlah Saksi

Nasional
Jokowi Klaim Program Bantuan Pompa Sudah Mampu Menambah Hasil Panen Padi

Jokowi Klaim Program Bantuan Pompa Sudah Mampu Menambah Hasil Panen Padi

Nasional
Soal Izin Usaha Tambang Ormas Keagamaan, Pimpinan Komisi VII Ingatkan Prinsip Kehati-hatian dan Kepatutan

Soal Izin Usaha Tambang Ormas Keagamaan, Pimpinan Komisi VII Ingatkan Prinsip Kehati-hatian dan Kepatutan

Nasional
Jokowi Pastikan Beras Bansos Berkualitas Premium, Tak Berwarna Kuning dan Hitam

Jokowi Pastikan Beras Bansos Berkualitas Premium, Tak Berwarna Kuning dan Hitam

Nasional
Minta Pemerintah Tetapkan Jadwal Pelantikan Kepala Daerah, Ketua KPU: Kalau Tak Ada, Bakal Repot

Minta Pemerintah Tetapkan Jadwal Pelantikan Kepala Daerah, Ketua KPU: Kalau Tak Ada, Bakal Repot

Nasional
Terima Kunjungan Delegasi Jepang, Kepala BNPT Perkenalkan Program Deradikalisasi

Terima Kunjungan Delegasi Jepang, Kepala BNPT Perkenalkan Program Deradikalisasi

Nasional
Mutasi Polri, Brigjen Suyudi Ario Seto Jadi Kapolda Banten, Brigjen Whisnu Hermawan Jadi Kapolda Sumut

Mutasi Polri, Brigjen Suyudi Ario Seto Jadi Kapolda Banten, Brigjen Whisnu Hermawan Jadi Kapolda Sumut

Nasional
Pakar Hukum Minta Bandar Judi Online Dijerat TPPU

Pakar Hukum Minta Bandar Judi Online Dijerat TPPU

Nasional
Pemerintah Tak Bayar Tebusan ke Peretas PDN, Data Kementerian/Lembaga Dibiarkan Hilang

Pemerintah Tak Bayar Tebusan ke Peretas PDN, Data Kementerian/Lembaga Dibiarkan Hilang

Nasional
Pimpinan Komisi VII Wanti-wanti Pengelolaan Tambang Ormas Rentan Ditunggangi Konglomerat

Pimpinan Komisi VII Wanti-wanti Pengelolaan Tambang Ormas Rentan Ditunggangi Konglomerat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com