Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Kelud, Catatan Panjang Siasat Hidup di Antara Ancaman dan Berkah Letusan

Kompas.com - 19/02/2014, 07:06 WIB
Ahmad Arif

Penulis

KOMPAS.com - Belum seminggu Gunung Kelud meletus hebat, memuntahkan batu kerikil dan abu yang menyebar teror dan ancaman kematian. Namun, dalam rentang belum lewat seminggu itu, pengungsi telah berbondong pulang kampung.

Warga menerobos zona bahaya yang ditetapkan karena mengira sudah tak ada lagi ancaman bahaya. Padahal, rangkaian bahaya letusan Gunung Kelud belum usai. Kini, bahaya itu bernama lahar hujan.

Warga lereng gunung tergesa pulang ke rumah begitu letusan mereda, bukan cuma khas Kelud. Sejarah mencatat, upaya pengosongan gunung-gunung api di Indonesia dari penduduk  secara permanen juga selalu gagal.

Setelah letusan dahsyat Gunug Galunggung pada 5 April 1982, misalnya, pemerintah mentransmigrasikan warga lereng gunung ini. Hingga September 1982, tercatat 8.217 warga Galunggung diberangkatkan ke luar Jawa. Faktanya, banyak dari mereka yang kemudian memilih pulang kampung.

Belum lagi, penduduk dari desa lain justru kemudian "menggantikan" warga yang coba dipindahkan oleh Pemerintah itu. Kini, desa-desa yang dulu pernah disapu letusan Galunggung kembali dipadati penduduk.

Fenomena yang sama juga terjadi setelah beberapa letusan Merapi di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Beberapa kali upaya memindahkan penduduk lereng Merapi menemui kegagalan.

Kekuatan militer yang pernah dipraktikkan pada era 1970-an oleh Pemerintah Orde Baru di Pulau Makian, Ternate, kini masuk wilayah Maluku Utara, terbukti gagal. Upaya pengosongan pulau itu dilakukan pada 15 Juni 1975, berbekal bedil, dan larangan menghuni Pulau Makian.

Seperti dituturkan dalam Ekspedisi Cincin Api Kompas, edisi Zona Merah di Kepulauan Rempah yang terbit pada 2012, keputusan mengosongkan Pulau Makian diambil setelah Direktorat Vulkanologi Bandung, sekarang Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, menyimpulkan seluruh wilayah di pulau kecil itu rawan dilanda bencana gunung api Kie Besi.

Upaya pengosongan ini mendapat perlawanan keras. Tak sampai setahun, warga pun kembali berbondong ke pulau gunung api ini. Kini, Makian dihuni lebih dari 20.000 jiwa.

Fenomena terbaru bisa kita lihat dari sulitnya mengosongkan Rokatenda di Nusa Tenggara Timur, sekalipun korban terus berjatuhan saat gunung ini meletus. Seperti Makian, Rokatenda adalah pulau gunung api aktif.

Berkah gunung api

Semua karena pandangan soal berkah. Bagi masyarakat di Nusantara, gunung api tak hanya berarti bencana dan kematian. Gunung api juga sumber kehidupan.

Abu yang disemburkan gunung api saat meletus adalah pupuk alam terbaik untuk menyuburkan tanah. Tak mengherankan, jika penduduk selalu memadati lereng-lereng gunung api yang paling aktif. Semakin aktif gunungnya, semakin padat penduduknya.

Kaitan antara keberadaan gunung api dan kepadatan penduduk ini telah disebutkan oleh ECJ Mohr, dalam The Relation Between Soil and Population Density in The Netherlands Indies (1938).

Profesor ilmu tanah dari Universitas Utrecht, Belanda yang melakukan penelitian di Jawa pada 1930-an ini menyimpulkan bahwa tingkat kepadatan penduduk di Indonesia di masa lalu ditentukan oleh keberadaan gunung api.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com