"Putusan itu menunjukkan MK menjalankan tugasnya sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang independen dan merdeka sekaligus pengawal konstitusi yang tidak dapat diintervensi cabang kekuasaan lainnya," ucap Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Ahmad Basarah di Jakarta, Kamis (13/2/2014).
Basarah menuturkan, sejak awal kehadiran UU yang lahir dari Perppu nomor 1 tahun 2013 memang terkesan dipaksakan dan menunjukkan ketidakpahaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan substansi UUD 1945.
Hal ini, lanjut Basarah, tercermin dalam pertimbangan MK yang menyatakan Perppu itu tidak memenuhi syarat kegentingan memaksa dan cacat materiil karena ketentuan pembentukan panel ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) tidak sesuai dengan UUD 1945.
Selain itu, Basarah juga mengkritik proses persetujuan Perppu MK di DPR yang diwarnai paksaan melalui lobi-lobi politik dari partai penguasa sehingga penilaian partai terhadap Perppu tidak obyektif. Basarah meminta semua pihak menghormati putusan itu lantaran putusan MK bersifat final dan mengikat.
"Pihak-pihak terkait harus menindaklanjutinya dan menghindarkan segala bentuk penghinaan terhadap putusan MK ini yang mengarah pada contemp of court (penghinaan pengadilan)," ucap anggota Komisi III DPR itu.
Secara terpisah, seperti dikutip dari Antara, Wakil Ketua Fraksi PDI-P DPR RI Eva Kusuma Sundari juga menyatakan sepakat dengan putusan MK. UU MK hasil revisi, menurut dia, pantas dibatalkan lantaran menyalahi prinsip demokrasi.
Anggota Komisi III DPR itu mempertanyakan kenapa kedaulatan rakyat dengan tiga cabang kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) di bawah panel ahli dapat menyeleksi bakal calon hakim konstitusi.
Untuk perbaikan di internal MK, kata Eva, kode etiknya harus detail dan ketat, terutama mencegah kecurangan dan menutup ruang konflik kepentingan. Ia memberi contoh kode etik di KPK yang saling mematai dan bisa melaporkan jika terjadi kecurangan.
Eva menambahkan, perbaikan juga bisa melalui revisi UU Nomor 24/2003 tentang MK. Setidaknya ada dua hal perlu diperbaiki dalam UU tersebut. Pertama, adanya pengawasan eksternal. Pengawas eksternal perlu mengingat mereka yang duduk di kursi hakim konstitusi bukan malaikat yang tanpa nafsu dan steril.
Ia lantas mencontohkan kasus Akil Mochtar (mantan Ketua MK). Kasus itu menunjukkan bahwa yang bersangkutan tidak bisa mengawasi dirinya sendiri.
"Kedua, mekanisme untuk banding atau menyoal jika putusannya cacat, misalnya ada suapnya. Masak harus diterima walau ketahuan salah, seperti trauma Gunung Mas, bagi PDI Perjuangan soal Pilgub Bali. Bikin fatwa yang bertentangan dengan norma pemilu universal, 'mosok' kualitas pemilu dimundurkan demi mengamankan putusan, dan berlaku Bali 'doang'. Bohong banget kan?" ungkapnya.
Sebelumnya, MK dalam putusannya telah membatalkan UU Nomor 4/2014 dan memberlakukan kembali UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Batalnya UU No. 4/2014 ini berarti telah membatalkan adanya panel ahli yang akan menyeleksi bakal calon hakim konstitusi, pengawasan hakim konstitusi melalui Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK), dan syarat hakim konstitusi harus tujuh tahun telah lepas dari ikatan partai politik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.