Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yusril: Putusan Pemilu Serentak 2019 Tak Masuk Akal

Kompas.com - 03/02/2014, 19:49 WIB
Rahmat Fiansyah

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, putusan uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan Effendi Ghazali jauh dari pemahaman yang dapat diterima akal sehat. Salah satunya terkait adanya ambang batas presiden (presidential threshold) dalam pemilu serentak.

"Kalau pemilu serentak, bagaimana menentukan ambang batas? Aneh betul, kecuali mereka dukun. Kecuali mereka udah tahu, oh PDI-P udah tahu sebelum pemilu sudah dapat 20 persen, Nasdem udah dapat 30 persen. Lah pemilu aja belum," kata Yusril di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (3/2/2014).

Yusril juga menilai aneh saat putusan mahkamah tersebut tidak dilaksanakan pada tahun 2014, tetapi pada tahun 2019. Menurutnya, Komisi Pemilihan Umum seharusnya melaksanakan saat itu juga ketika mahkamah menyatakan beberapa pasal dalam UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945.

"Putusan MK itu berlaku seketika saat diucapkan," ucap bakal calon presiden dari Partai Bulan Bintang itu.

Atas dasar itulah, mantan Menteri Kehakiman di era Presiden Megawati Soekarnoputri itu mengajukan kembali uji materi terhadap UU Pilpres. Sebagai orang yang terlibat dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi, ia merasa bertanggung jawab untuk memperbaiki keanehan yang ditimbulkan putusan MK.

"Anda ingat, yang mengajukan draf UU MK itu Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra. Tapi setelah Mahkamah Konstitusi-nya jadi, kok seperti ini kerjanya. Tentu saya orang pertama yang sangat kecewa dengan Mahkamah Konstitusi," pungkasnya.

Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian uji materi UU Pilpres yang diajukan akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak dengan putusan pemilu serentak pada 2019. Jika dilaksanakan pada 2014, menurut MK, pelaksanaan pemilu dapat mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru tidak dikehendaki karena bertentangan dengan UUD 1945.

MK dalam putusannya menegaskan bahwa penyelenggaraan pileg dan pilpres tahun 2009 yang berlangsung tidak serentak dan sistemnya akan diulangi Pemilu 2014 tetap dinyatakan sah dan konstitusional. Hanya saja, dengan keputusan pemilu serentak, diperlukan aturan baru sebagai dasar hukum untuk melaksanakan pilpres dan pileg secara serentak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

Nasional
Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com