JAKARTA, KOMPAS.com — Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, putusan uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan Effendi Ghazali jauh dari pemahaman yang dapat diterima akal sehat. Salah satunya terkait adanya ambang batas presiden (presidential threshold) dalam pemilu serentak.
"Kalau pemilu serentak, bagaimana menentukan ambang batas? Aneh betul, kecuali mereka dukun. Kecuali mereka udah tahu, oh PDI-P udah tahu sebelum pemilu sudah dapat 20 persen, Nasdem udah dapat 30 persen. Lah pemilu aja belum," kata Yusril di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (3/2/2014).
Yusril juga menilai aneh saat putusan mahkamah tersebut tidak dilaksanakan pada tahun 2014, tetapi pada tahun 2019. Menurutnya, Komisi Pemilihan Umum seharusnya melaksanakan saat itu juga ketika mahkamah menyatakan beberapa pasal dalam UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945.
"Putusan MK itu berlaku seketika saat diucapkan," ucap bakal calon presiden dari Partai Bulan Bintang itu.
Atas dasar itulah, mantan Menteri Kehakiman di era Presiden Megawati Soekarnoputri itu mengajukan kembali uji materi terhadap UU Pilpres. Sebagai orang yang terlibat dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi, ia merasa bertanggung jawab untuk memperbaiki keanehan yang ditimbulkan putusan MK.
"Anda ingat, yang mengajukan draf UU MK itu Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra. Tapi setelah Mahkamah Konstitusi-nya jadi, kok seperti ini kerjanya. Tentu saya orang pertama yang sangat kecewa dengan Mahkamah Konstitusi," pungkasnya.
Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian uji materi UU Pilpres yang diajukan akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak dengan putusan pemilu serentak pada 2019. Jika dilaksanakan pada 2014, menurut MK, pelaksanaan pemilu dapat mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru tidak dikehendaki karena bertentangan dengan UUD 1945.
MK dalam putusannya menegaskan bahwa penyelenggaraan pileg dan pilpres tahun 2009 yang berlangsung tidak serentak dan sistemnya akan diulangi Pemilu 2014 tetap dinyatakan sah dan konstitusional. Hanya saja, dengan keputusan pemilu serentak, diperlukan aturan baru sebagai dasar hukum untuk melaksanakan pilpres dan pileg secara serentak.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.