JAKARTA, KOMPAS.com – Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pemilu serentak dilakukan pada tahun 2019 telah membuat konsekuensi yang cukup besar. Apalagi, MK menyerahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah terkait syarat ambang batas pengusungan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Hasil pemilu 2014 diyakini akan menjadi penentu dalam menentukan lanskap perpolitikan Indonesia ke depan.
“Keputusan tersebut membuat Pileg 2014 menjadi super krusial karena nilai strategisnya melebihi pemilu-pemilu yang lain. Kenapa? Karena Pileg 2014 akan menentukan lanskap politik Indonesia bukan hanya pasca-2014, tapi bahkan pada 2019 dan seterusnya,” ujar Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo di Jakarta, Jumat (24/1/2014).
Dradjad mengatakan, peta politik hasil pemilihan legislatif 2014 akan sangat menentukan siapa saja partai partai peserta pemilu 2019. Selain itu, para pemenang pemilu 2014 juga akan beperan penting dalam menentukan siapa saja yang bisa maju sebagai calon Presiden selanjutnya.
“Karena itu, mau tidak mau, parpol harus bekerja ekstra keras pada 2014 jika tidak mau tergilas zaman. PAN sangat menyadari hal tersebut. Oleh karena itu, PAN semakin all out bertanding di 2014,” imbuh politisi yang juga ekonom itu.
Lebih lanjut, Dradjad menyatakan, dari sisi ketatanegaraan, keputusan MK terkait pemilu serentak juga perlu disertai dengan revisi semua Undang-undang tentang pemilu secara mendasar. Hal ini karena semua undang-undang terkait pemilu disusun dengan paradigma “pileg lebih awal dari pilpres”.
“Ini menjadi PR (pekerjaan rumah) pemerintah dan DPR periode 2014-2019 untuk segera merumuskannya,” ucap Dradjad.
Dradjad memuji keputusan MK itu sebagai sebuah keputusan yang sarat kenegarawanan. Menurutnya, jika pemilu serentak dilakukan pada tahun 2014, maka akan terlalu banyak pekerjaan rumah yang imbasnya menimbulkan kegaduhan politik yang kontraproduktif. Dengan pelaksanaan pemilu tahun 2019, Dradjad meyakini persiapan akan lebih matang.
Seperti diberitakan, MK mengabulkan sebagian uji materi UU Pilpres yang diajukan akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat Untuk Pemilu Serentak dengan putusan pemilu serentak pada 2019. Jika dilaksanakan di 2014, menurut MK, pelaksanaan pemilu dapat mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru tidak dikehendaki karena bertentangan dengan UUD 1945.
MK dalam putusannya menegaskan bahwa penyelenggaraan Pileg dan Pilpres tahun 2009 yang berlangsung tidak serentak dan sistemnya akan diulangi Pemilu 2014 tetap dinyatakan sah dan konstitusional. Hanya, dengan keputusan pemilu serentak, diperlukan aturan baru sebagai dasar hukum untuk melaksanakan pilpres dan pileg secara serentak.
Dengan keputusan MK itu, maka syarat pengusungan capres-cawapres pada Pilpres 2014 tetap berpegang pada UU Pilpres, yakni 20 persen perolehan kursi DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional. Jika tak cukup, parpol mesti berkoalisi untuk mengusung capres-cawapres.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.