JAKARTA, KOMPAS.com
- Ketika menyaksikan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo dan Bupati Bojonegoro Suyoto (Kang Yoto) mendongeng (Minggu, 29/12) soal kehidupan rakyat, pangan, minyak, dan pembangunan, saya teringat Gubernur Joko Widodo. Dalam konser 30 tahun Slank yang bertajuk ”Slank Nggak Ada Matinya” di Gelora Bung Karno, Jakarta, (Jumat, 13/12), Jokowi membacakan Manifesto Slank.

Manifesto Slank, meskipun tampak sederhana, sejatinya dapat dipergunakan sebagai indikator untuk mengukur karakter partai dan performa politisi. Manifesto itu juga bisa menjadi pegangan pemilih agar menjadi individu otonom. Manifesto tersebut adalah kita harus kritis, berjiwa sosial, penuh solidaritas, saling setia, selalu merdeka, hidup sederhana, mencintai alam, manusiawi, berani untuk beda, menjunjung persahabatan, punya angan yang tinggi, menjadi diri sendiri, serta membuka otak dan hati.

Merujuk tiga belas ajaran itu, kita bisa mencermati karakter seorang pemimpin, termasuk Kang Yoto. Sama seperti Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah, untuk menyebut contoh pemimpin lokal yang lain, meskipun mungkin ini kontroversial, dalam batas-batas tertentu karakter mereka banyak yang cocok dengan isi manifesto itu. Maknanya, mereka tulus bekerja untuk rakyat.

Itu berbeda dengan kebanyakan politisi yang sekarang beredar dan siap melakukan kontestasi, baik menjadi anggota legislatif maupun calon presiden dan wakil presiden 2014. Mereka sibuk mematut diri dengan pakaian perlente, memperkuat iklan politik, dan membuat jaring laba-laba guna menjebak konstituen.

Berkaca dari hasil analisis isi dan kajian metaanalisis yang dilakukan Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) terhadap 30 hasil survei yang diselenggarakan 20 lembaga sepanjang tahun 2013, sekarang ini masih ada sekitar 22 persen suara yang belum menentukan sikap. Mereka akan menjadi ajang perebutan partai-partai yang menurut akumulasi hasil 30 survei tersebut belum lolos ambang batas parlemen. Mereka adalah PAN, Nasdem, PKS, Hanura, PBB, dan PKPI.

Dengan semua upaya yang dilakukan partai politik, terutama pada paruh kedua tahun 2013 dan tiga bulan menjelang pemilu legislatif, menurut prediksi saya, PKS, Hanura, Nasdem, dan PAN akan lolos parliamentary threshold. Hal itu disebabkan keempat partai tersebut sudah mempunyai infrastruktur mumpuni dan jaringan kader yang terstruktur baik.

Namun, apabila model pendekatan mereka masih seperti sekarang, yaitu mengandalkan penetrasi iklan di media massa, dalam perspektif budaya politik, mereka akan digulung kekebalan informasi. Maksudnya, pada titik tertentu masyarakat akan kebal dan tidak terpengaruh terhadap iklan-iklan politik yang mereka tayangkan dan tebar. Narasi (dongeng) yang mereka sampaikan tidak menarik lagi untuk didengarkan. Meminjam istilah HOS Tjokroaminoto, mereka gagal menggenggam hati rakyat.

Hal lain yang menarik dari kajian SSS terhadap 30 hasil survei 20 lembaga tersebut adalah berkibarnya elektabilitas dan kewibawaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Di antara semua partai politik yang ada saat ini, sebenarnya hanya PDI-P yang benar-benar siap bertempur. Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, yang bekerja dalam diam, tidak saja telah membuat PDI-P solid, tetapi juga melahirkan banyak politisi muda yang mumpuni. Jadi, mereka tidak kesulitan mencari calon presiden dan wakil presiden dari dalam partai sendiri.

Sebaliknya, partai-partai lain yang termasuk kategori partai besar berdasarkan hasil Pemilu 2009, yaitu Partai Demokrat, Golkar, dan PKS, dilanda banyak persoalan, khususnya berkaitan dengan pembelahan internal ataupun korupsi. Selain itu, mereka juga miskin tokoh yang dapat diusung sebagai simbol kepemimpinan yang bisa menggenggam hati rakyat. Pendeknya, dari sisi kelengkapan sumber daya politik, kalau ditaruh di atas meja, sebenarnya mereka tidak sepenuhnya siap menghadapi kontestasi politik yang pasti berjalan sengit.

Di luar kedua fenomena itu, dengan elektabilitas Prabowo Subianto yang tinggi sebagai calon presiden (nomor dua di bawah Joko Widodo) dan mobilitasnya yang aktif ke desa-desa, sesuai dengan historiografi politik Indonesia yang bertumpu pada sejarah tokoh, Partai Gerindra sebenarnya termasuk partai yang siap menghadapi kontestasi politik 2014. Namun, partai ini dihadang faktor eksternal yang tidak mudah ditundukkan, yaitu presidential threshold. Perlu langkah terobosan segera untuk menutup lubang itu. Selain itu, ada gejala pula Partai Hanura mulai menggeliat. Demikian juga dengan Partai Nasdem yang sempat mengempis.

Catatan penting akhir tahun ini adalah apabila pemilu dilakukan hari ini, PDI-P akan membukukan kemenangan. Apabila Jokowi dijagokan sebagai calon presiden, itu akan menggetarkan dan tidak ada satu pun tokoh yang mampu mengalahkan. Anda setuju? Saya kira begitu.

Sukardi Rinakit, Pendiri SSS dan Kaliaren Foundation