Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MA dan Hukuman Berat

Kompas.com - 03/12/2013, 08:22 WIB

Oleh: Adi Andojo Soetjipto

DENGAN maraknya korupsi di Indonesia yang sampai tanpa batas, baik batas jumlah uang yang dikorupsi maupun batas moral orang yang melakukan korupsi, kita ramai-ramai mencari akal untuk memberantasnya. Di antaranya dengan cara membuat para pelaku korupsi menjadi jera.

Agar menjadi jera, antara lain, pelaku itu harus dibuat malu di lingkungan sosialnya, misalnya dengan menyuruh para tersangkanya mengenakan baju tahanan apabila ditahan. Cara lain adalah dengan memiskinkan terpidana korupsi. Dan, yang terjadi akhir- akhir ini adalah apa yang dilakukan MA dengan menjatuhkan hukuman berat bagi terpidana Angelina Sondakh atau yang biasa dipanggil Angie.

Masyarakat bersorak-sorai menyambut keputusan MA itu dan hakim agung yang memutuskan perkaranya disambut bak pahlawan yang berani dalam ikut serta memperjuangkan pemberantasan korupsi. Putusannya akan dijadikan yurisprudensi agar hakim-hakim bawahan mengambil pedoman pada putusan tersebut.

Saya seorang yang berjiwa antikorupsi. Tapi nanti dulu, apabila saya ditanya tentang apresiasi saya terhadap putusan itu. Saya masih akan mempertanyakan apakah putusan itu sudah mempertimbangkan selengkap- lengkapnya hal-hal yang meliputi tindak pidana itu. Misalnya bahwa hasil korupsi yang dilakukan terpidana itu telah dibagi-bagikan kepada teman-teman sesamanya dan bahwa teman-temannya masih bebas berkeliaran.

Sudah tepatkah hukuman 12 tahun itu. Memang bagi seorang hakim, soal ”ukuran pemidanaan” itu adalah yang paling sulit, tapi mengapa 12 tahun dan tidak 10 tahun atau 15 tahun? Kalau 12 tahun dianggap sudah cukup untuk membuat orang jera untuk berbuat korupsi, hal itu, menurut pendapat saya, masih merupakan hal yang perlu dibuktikan terlebih dahulu dengan melihat perkembangan selanjutnya. Belum tentu habis ini korupsi akan menurun jumlahnya. Ataukah, hukuman 12 tahun itu sekadar untuk menambah berat hukuman yang dijatuhkan pengadilan judex facti?

Rasa keadilan

Kalau mengenai ada hakim agung yang menambah hukuman kemudian lalu dia disanjung sebagai hakim yang berani dan dianggap pahlawan antikorupsi, hal itu menurut pendapat saya adalah ”salah besar”. Sebab, menjatuhkan putusan dengan menambah atau mengurangi hukuman itu adalah tugas hakim berdasarkan rasa keadilannya dan bukan untuk tujuan tertentu.

Tugas pokok seorang hakim adalah demikian, yakni menghukum terdakwa kalau ternyata terdakwa terbukti bersalah atau membebaskan terdakwa apabila ternyata terdakwa tidak terbukti bersalah. Dan, bahwa seorang hakim harus mempunyai sifat-sifat adil, jujur, berani, itu memang suatu conditio sine qua non bagi seorang hakim. Dan, apabila ada seorang hakim yang membebaskan terdakwa karena dianggap kesalahannya tidak terbukti, janganlah lalu dia dianggap sebagai hakim yang pengecut dan yang ”prokorupsi”.

Sekarang ini masih banyak hakim yang mempunyai sifat-sifat demikian, terutama di daerah-daerah. Jadi, tidak perlu hakim agung yang menambah hukuman dianggap pemberani dan disanjung!

Bagi saya, cara untuk membuat para koruptor menjadi jera adalah dengan menjatuhkan hukuman mati. Kalau belum ada undang-undang yang mengatur hal itu, buatlah segera undang- undangnya. Seorang saja pelaku korupsi dihukum mati dan dieksekusi, saya yakin korupsi di negeri ini akan segera lenyap. Bukannya saya antimasalah HAM, melainkan koruptor adalah sampah masyarakat yang harus dilenyapkan dari muka bumi.

Mudah-mudahan tulisan ini tidak membuat orang tersinggung. Saya hanya ingin membantu membuat pencerahan agar masyarakat tidak keliru menanggapi suatu masalah.

*Adi Andojo Soetjipto, Mantan Ketua Muda MA

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Nostalgia Ikut Pilpres 2024, Mahfud: Kenangan Indah

Nostalgia Ikut Pilpres 2024, Mahfud: Kenangan Indah

Nasional
Gibran Beri Sinyal Kabinet Bakal Banyak Diisi Kalangan Profesional

Gibran Beri Sinyal Kabinet Bakal Banyak Diisi Kalangan Profesional

Nasional
Menag Bertolak ke Saudi, Cek Persiapan Akhir Layanan Jemaah Haji

Menag Bertolak ke Saudi, Cek Persiapan Akhir Layanan Jemaah Haji

Nasional
Ide 'Presidential Club' Prabowo: Disambut Hangat Jokowi dan SBY, Dipertanyakan oleh PDI-P

Ide "Presidential Club" Prabowo: Disambut Hangat Jokowi dan SBY, Dipertanyakan oleh PDI-P

Nasional
Ganjar Pilih Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Hampir Dipastikan Berada di Luar Pemerintahan Prabowo

Ganjar Pilih Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Hampir Dipastikan Berada di Luar Pemerintahan Prabowo

Nasional
Jemaah Haji Kedapatan Pakai Visa Non Haji, Kemenag Sebut 10 Tahun Tak Boleh Masuk Arab Saudi

Jemaah Haji Kedapatan Pakai Visa Non Haji, Kemenag Sebut 10 Tahun Tak Boleh Masuk Arab Saudi

Nasional
BNPB Tambah 2 Helikopter untuk Distribusi Logistik dan Evakuasi Korban Longsor di Sulsel

BNPB Tambah 2 Helikopter untuk Distribusi Logistik dan Evakuasi Korban Longsor di Sulsel

Nasional
Luhut Ingatkan soal Orang 'Toxic', Ketua Prabowo Mania: Bisa Saja yang Baru Masuk dan Merasa Paling Berjasa

Luhut Ingatkan soal Orang "Toxic", Ketua Prabowo Mania: Bisa Saja yang Baru Masuk dan Merasa Paling Berjasa

Nasional
Mahfud Kembali ke Kampus Seusai Pilpres, Ingin Luruskan Praktik Hukum yang Rusak

Mahfud Kembali ke Kampus Seusai Pilpres, Ingin Luruskan Praktik Hukum yang Rusak

Nasional
[POPULER NASIONAL] Eks Anak Buah SYL Beri Uang Tip untuk Paspampres | Ayah Gus Muhdlor Disebut dalam Sidang Korupsi

[POPULER NASIONAL] Eks Anak Buah SYL Beri Uang Tip untuk Paspampres | Ayah Gus Muhdlor Disebut dalam Sidang Korupsi

Nasional
Ganjar: Saya Anggota Partai, Tak Akan Berhenti Berpolitik

Ganjar: Saya Anggota Partai, Tak Akan Berhenti Berpolitik

Nasional
Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Nasional
Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com