JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim Agung Artidjo Alkostar betul-betul menunjukkan komitmennya yang tinggi dalam pemberantasan korupsi. Dia tidak sedang berpidato dan beretorika untuk memberantas korupsi sebagaimana dilakukan elite politik. Akan tetapi, Artidjo sedang berpidato melalui putusan-putusannya.
Dalam sidang tingkat kasasi, Artidjo bersama dengan hakim anggota, MS Lumme dan Mohammad Askin kembali memperberat hukuman terdakwa korupsi yang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Kini, giliran Angelina Sondakh, terdakwa dalam kasus korupsi penggiringan anggaran di Kementerian Pemuda dan Olahraga dan Kementerian Pendidikan Nasional, yang hukumannya diperberat oleh Artidjo.
Vonis Artidjo menunjukkan bagaimana dia mewakili korps jubah hitam itu menjadikan palu hakim untuk menjawab kegelisahan bangsa yang belum juga berhasil memenangi perang terhadap korupsi.
Hukuman terhadap Angelina Sondakh, politisi Partai Demokrat itu, diperberat lebih dari dua kali lipat dari vonis 4 tahun 6 bulan penjara menjadi 12 tahun penjara. Bukan hanya pemberatan hukuman badan, Artidjo juga mengharuskan mantan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat itu untuk membayar uang pengganti Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar AS.
Putusan Artidjo itu sebenarnya kembali pada apa yang dituntut jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuntut Angelina dihukum 12 tahun dan membayar uang pengganti Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar AS atau setara dengan Rp 27,4 miliar. Artinya, Angelina harus membayar uang pengganti sekitar Rp 40 miliar.
Pertimbangan Artidjo bukan didasarkan pada pertimbangan positivisme hukum yang diterapkannya secara konservatif. Hakim Artidjo tidak sedang membaca teks pasal demi pasal dan kemudian mengaitkannya dengan teori pembuktian. Dia justru mengaitkannya dengan rasa keadilan publik yang terkoyak dengan perbuatan korupsi. Inilah corak keadilan progresif Artidjo yang selayaknya dijadikan panutan!
Putusan Artidjo itulah yang diapresiasi oleh Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, koleganya di Yogyakarta. ”Vonis Artidjo itu mencerminkan rasa kepekaan dan keadilan sosial,” demikian komentar Busyro. Kita sependapat dengan Busyro. Pikiran progresif Artidjo dalam upaya bangsa memberantas korupsi harus terus digemakan agar bisa menjadi yurisprudensi dan diikuti hakim-hakim lain.
Skuad Artidjo harus diperkuat. Hakim berpikiran progresif yang mampu menangkap kegeraman bangsa harus diberi tempat yang layak untuk ikut berperan menolong bangsa memberantas korupsi dan narkotika. Hakim progresif itu harus disebar di pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding.
Bangsa ini membutuhkan hakim berpikiran progresif seperti Artidjo, bukan hakim yang menjadikan hukum dan vonis hakim sebagai industri yang bisa diperjualbelikan.
Mahkamah Agung perlu mencari dan menempatkan hakim progresif di Jakarta sebagai pusat korupsi untuk menjadi pengadil terhadap kelakuan para penjarah uang negara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.