Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 11/11/2013, 10:49 WIB

Oleh: Christianto Wibisono

Senin, 4 November 2013, Presiden SBY dengan gaya sersan (serius tapi santai) melemparkan bola kemacetan Jakarta kepada Gubernur Jokowi.

”Saya dari Istana ke Sahid memenuhi undangan Agung Laksono perlu 45 menit karena saya tidak pernah minta menutup jalan kalau lewat. Ipar saya sempat mengecek saya di rumah, tapi diisukan menyetop jalan. Di East Asia Summit di Bandar Seri Begawan, para pemimpin ASEAN mengeluhkan kemacetan Jakarta. Saya jawab, itu tanggung jawab gubernur, bukan presiden.”

Hari Selasa, yang merupakan libur 1 Muharam, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) langsung menyatakan bahwa kemacetan Jakarta tanggung jawab semua pihak, termasuk pemerintah pusat, karena jalan protokol dan jalan negara adalah urusan Kementerian Pekerjaan Umum. Kebijakan transportasi juga di tangan pusat dan Jakarta memang memerlukan otoritas transportasi Jabodetabek yang terintegrasi, yang tidak mungkin hanya ditangani Gubernur DKI Jakarta.

Sementara itu, di front buruh, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal memojokkan Jokowi dengan menyatakan bahwa kebijakan Jokowi menyetujui upah Rp 2,4 juta bertentangan dengan kebijakan pusat yang dicanangkan Presiden SBY, bahwa sudah bukan zamannya lagi menjual RI sebagai rezim buruh murah.

Saya baru membaca buku China 3.0 yang disusun Mark Leonard, editor tim European Council on Foreign Relations. Dengan cermat diuraikan polemik dua kubu, New Left dan New Right, di China yang juga berlangsung di Indonesia. Setelah memasuki kelompok negara berpenghasilan menengah, teori tentang the middle income trap menjadi menu semua pakar, termasuk Indonesia. Semua orang bicara soal keharusan kita melampaui jebakan middle income trap agar naik kelas ke status negara maju.

Kegagalan banyak negara Amerika Latin yang sudah memasuki kelompok pendapatan per kapita menengah (middle income) kemudian stagnan adalah karena kegagalan mengatasi jurang menganga yang melebar antara kelas atas dan bawah. Rezim politik kemudian terjebak pada populisme murahan, Robin Hood modern yang korup dan penuh nepotisme yang sangat mengabaikan meritokrasi sehingga kinerja nasional merosot dan terpuruk. Tarikan pada rezim militer atau teokrasi ortodoks yang menggabungkan ekstrem adonan aneh Salafi, Wahabi, maoisme, dan marxisme yang justru sudah ditinggalkan Rusia dan China malah diadopsi oleh Iran dan Venezuela. Semuanya dalam semangat anti-kapitalisme kolonialisme dan imperialisme AS yang memang menjadi populer karena NSA melakukan penyadapan bahkan terhadap sekutu dekat seperti Jerman.

Perang propaganda

Populisme memang bisa jadi senjata ampuh untuk mendekati rakyat. Dalam soal perburuhan ini, terjadi suatu ironi di mana Jokowi yang dianggap kampiun wong cilik dibenturkan dengan SBY yang selama ini diserang terus oleh pihak oposisi sebagai kampiun neolib. Menyaksikan manuver buruh, kita bisa mencium operasi intelijen, perang propaganda. Memojokkan Jokowi sebagai ”pro-rezim buruh murah” dan memosisikan SBY sebagai kampiun pembela kenaikan upah buruh. Ditambah lagi paduan suara pro dan kontra mobil murah dan mobil Esemka.

Polemik tentang pro dan kontra mobil murah memperoleh momentum dan ada yang menyamakan nasib Jokowi dengan mobil Esemka yang tidak lulus uji coba ramah lingkungan. Jokowi dianggap akan gagal jadi calon presiden, sama nasibnya seperti mobil Esemka. Dalam soal mobil Esemka dan mobil murah ini, memang bangsa Indonesia kehilangan peluang karena selalu mencampuradukkan kebijakan nasional dengan kepentingan pribadi penguasa dan penyelenggara negara.

Ketika Soeharto dengan visi jenderal besar berani terjun memproklamasikan APEC pasar bebas pada tahun 2020 (termasuk RI)—dan 2010 untuk negara maju APEC—maka Soeharto juga mencanangkan kebijakan Mobil Nasional (Mobnas).

Pusat Data Bisnis Indonesia yang mengkaji kebijakan ekonomi politik RI mendukung kebijakan Mobnas karena berdasarkan kajian Anatomy of the Global Automotive Industry, setiap negara pendatang baru yang ingin berperan di industri otomotif pasti harus melakukan politik proteksi paling sedikit satu dasawarsa. Jepang melakukan itu, Korea juga melakukan. Setelah itu, barulah naik kelas ke pasar global. Jadi, proteksi dan kebijakan Mobnas tidak salah, yang keliru barangkali kenapa mesti dilakukan oleh ”putra mahkota”, Tommy Soeharto.

Kebijakan mobil murah LCGC yang diambil pemerintah pusat barangkali memang sudah agak terlambat ketika dunia sudah diatur oleh rezim MFN WTO yang tidak boleh mendiskriminasi mitra dagang serta menjamurnya kesepakatan perdagangan bebas (FTA) untuk membuka pasar bagi negara tertentu yang sebetulnya bertentangan dengan rezim tunggal WTO. Indonesia adalah bagian dari ekonomi global dan tidak bisa lepas dari polemik ekonomi politik global. Kegagalan pasar dan kerapuhan sistem Barat yang tecermin dari krisis moneter 2008 di Wall Street dan 2010 di zona euro memang memerlukan itikad dan kearifan untuk kembali ke jalan tengah.

Bangkrutnya komunisme, bubarnya Uni Soviet, dan kembalinya China ke pasar setelah gagalnya marxisme membawa China pada kelas menengah menuju kelas negara maju kaya. Namun, rapuhnya Wall Street 2008 dan zona euro 2010 juga memberikan sinyal agar tidak terjerumus ke jurang yang sama. Itulah hakikat perdebatan menuju China 3.0.

Analog dengan China, Indonesia menuju Indonesia 3.0 setelah rezim 1.0 dan 2.0 Bung Karno dan Soeharto. Indonesia 3.0 ini adalah Indonesia Inc yang belajar dari kesalahan Timur dan Barat serta melaksanakan jalan tengah. Kita sudah sering terombang- ambing dalam pendulum ekstrem kiri etatisme, nasionalisasi, rezim otoriter kiri kemudian ke rezim represif developmentalis Soeharto yang mengacu kepada Park Chung-hee dan junta militer Amerika Latin. Kita sekarang menuju jalan tengah dan tidak boleh kembali pada rezim dwifungsi jilid 2 seperti yang tersirat dari pidato Pangkostrad yang menghebohkan dan mengundang polemik di harian ini. Demokrasi yang dipimpin kekuatan voting, demikian Pangkostrad, diragukan akan membawa bangsa ini ke arah cita-cita kesejahteraan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Nasional
Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Nasional
Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Nasional
Ganjar Bubarkan TPN

Ganjar Bubarkan TPN

Nasional
BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

Nasional
TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

Nasional
Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong 'Presidential Club'

Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong "Presidential Club"

Nasional
Ide 'Presidential Club' Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Ide "Presidential Club" Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Nasional
Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Nasional
Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Nasional
Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Nasional
Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com