Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Endriartono Kritik Kinerja Presiden

Kompas.com - 27/08/2013, 21:11 WIB
Sandro Gatra

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
- Bakal calon presiden Endriartono Sutarto mengkritik kinerja pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ketika memaparkan visi dan misi di hadapan Komite Konvensi calon presiden Partai Demokrat di Wisma Kodel, Jakarta, Senin (27/8/2013). Apa saja yang dikritik Endriartono?

Endriartono menyoroti kondisi demokrasi yang menurutnya belum sehat. Kebebasan berpendapat diterjemahkan bebas berbuat apa saja hingga menabrak koridor hukum. Di sisi lain, penegakan hukum lemah.

Hal lain yang disoroti, yakni defisit bahan bakar minyak (BBM) yang mengakibatkan pemerintah harus mengimpor hingga 600 ribu barel per hari. Padahal, kata Endriartono, ada batubara dan gas yang belum dimaksimalkan pemanfaatannya.

Akibat dari membengkanya impor BBM, kata Endriartono, subsidi yang mesti dikeluarkan negara mencapai Rp 300 triliun per tahun. Jika konversi BBM ke gas dan batu bara dilaksanakan, kata dia, anggaran subsidi bisa dialihkan untuk rakyat miskin.

Ia menambahkan, berapapun biaya untuk membangun infrastruktur gas dan batubara harus dikeluarkan untuk kepentingan jangka panjang. "Katakanlah butuh Rp 1.000 triliun. Itu sama dengan tiga tahun subsidi. Setelah itu tidak ada lagi subsidi. Jadi konversi harus segera dilaksanakan," ucapnya seusai acara Pra Konvensi.

Mantan Panglima TNI itu juga mengkritik impor berbagai komoditas seperti beras, kedelai, jagung, bawang, bahkan hingga singkong. Padahal, Indonesia negara agraria. Di sisi lain, kata dia, puluhan juta petani masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Endriartono menekankan perlunya peningkatan produksi untuk ketersediaan barang di dalam negeri dan kesejahteraan petani. Salah satunya dengan memberikan lahan kosong kepada petani. Menurutnya, tidak tepat jika solusi yang diambil adalah menaikkan harga komoditas. Pasalnya, hal itu akan berimbas kepada kelompok masyarakat miskin.

Hal lain yang dikritik Endriartono, yakni kondisi nelayan. Menurutnya, banyak nelayan tidak sejahtera lantaran hanya memiliki perahu kecil. Kondisi perahu mengakibatkan nelayan hanya mampu menangkap ikan kecil. Seharusnya pemerintah memberikan bantuan kapal agar mereka bisa menangkap ikal di tengah laut.

Tak berhenti di situ. Endriartono juga mengkritik kondisi buruh yang dibayar murah untuk menarik investor asing. Buruh murah memang membuka lapangan kerja. Namun, kata dia, kenyataannya buruh kesulitan membiayai hidup.

Ia menambahkan, semestinya pemerintah bersama pengusaha meningkatkan produktivitas buruh melebihi buruh di negara lain. Meski gaji buruh dinaikkan, pengusaha tetap akan untung lantaran produktivitas tinggi. Perlu juga dibangun infrastruktur pendukung.

Dengan gaji tinggi, tambah dia, maka tidak ada lagi penghentian produksi akibat demo buruh menuntut pengkatan kesejahteraan. Ujungnya, iklim investasi terjaga. "Jadi tidak boleh ada lagi buruh murah, tapi buruh yang produktifitas tinggi," kata dia.

Masih ada beberapa hal lain yang dikritik Endriartono. Menurut dia, persoalan Indonesia sangat kompleks. Meski demikian, ia mengakui ada kemajuan pemerintahan SBY. Namun, ia tidak memaparkannya. "Yang baik tidak perlu dibahas," pungkas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Nasional
Menag Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji: Semua Baik

Menag Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji: Semua Baik

Nasional
Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet di Pilkada DKI Jakarta

Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet di Pilkada DKI Jakarta

Nasional
Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Nasional
Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Nasional
Utak-Atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Utak-Atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Nasional
Gibran Lebih Punya 'Bargaining' Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Gibran Lebih Punya "Bargaining" Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Nasional
'Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran'

"Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran"

Nasional
Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Nasional
[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

Nasional
Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Nasional
Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Nasional
Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com