Rabu lalu, pembahasan Rancangan Undang-Undang Perubahan UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden di Badan Legislatif DPR yang telah berlangsung selama enam masa sidang menemui jalan buntu. Lima fraksi dari partai politik besar di DPR menyatakan, UU itu tidak perlu diubah. Karena itu, Pilpres 2014 kemungkinan tetap mengacu pada UU No 42/2008.
Dalam UU No 42/2008 disebutkan, hanya parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh minimal 25 persen suara sah nasional yang dapat mengajukan capres-cawapres.
Dengan syarat itu, Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow di Jakarta, Kamis (4/7), memperkirakan, Pilpres 2014 hanya akan diikuti maksimal empat pasang capres-cawapres. ”Dengan syarat itu, sangat mungkin calon yang akan muncul adalah figur-figur lama,” katanya.
Tokoh-tokoh lama itu pun, menurut Jeirry, kemungkinan merupakan tokoh yang sudah terbukti tidak mampu memberikan perubahan signifikan bagi perkembangan demokrasi. Mereka juga disangsikan dapat memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Jika DPR batal merevisi UU No 42/2008, lanjutnya, hal itu mengecewakan publik. Saat ini, masyarakat membutuhkan figur calon pemimpin alternatif yang mungkin muncul jika syarat pencalonan presiden lebih ringan.
Calon alternatif
Jeirry dan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini secara terpisah menilai, sikap mayoritas fraksi yang menolak merevisi UU No 42/2008 itu merupakan upaya menjegal munculnya calon alternatif. Titi berpendapat, ketakutan parpol menurunkan syarat pencalonan presiden disebabkan kelangkaan tokoh yang mengakar di masyarakat.
Anggota Baleg dari Fraksi Partai Golkar, Taufiq Hidayat, mengatakan, sikap mayoritas fraksi yang tidak menginginkan perubahan UU lebih didasarkan pada pengalaman pemilu sebelumnya. ”Ini sudah dijalankan dalam pilpres lalu. Jadi, sebenarnya sudah ada presedennya. Kalau aturan main, kan, lebih baik sesuai preseden saja,” kata Taufiq. Menurut dia, perolehan suara parpol dalam Pemilu 2009 tidak bisa dijadikan acuan.
Peneliti senior Pol-Tracking Institute, Tata Mutasya, berharap parpol mengajukan calon baru untuk Pilpres 2014. Capres-cawapres yang dinilai sebagai tokoh alternatif harus sering dimunculkan ke publik dan itu dimulai sejak sekarang.
Jika tidak, parpol akan rugi karena ada kecenderungan masyarakat mulai bosan dengan tokoh-tokoh lama. Ditambah lagi beberapa parpol telah memunculkan capres alternatif yang kira-kira diminati masyarakat.
Tata mencontohkan, jika PDI-P tidak mencalonkan Joko Widodo, kemungkinan Partai Demokrat dapat diuntungkan dengan menyodorkan caleg alternatif, seperti Pramono Edhie.
Wakil Ketua Majelis Tinggi Demokrat Marzuki Alie berujar, calon Demokrat akan ditentukan dalam konvensi.
Pengamat politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Ari Dwipayana, dan pengajar Politik FISIP Universitas Indonesia, Iberamsjah, secara terpisah mengatakan, sosok presiden 2014-2019 harus memiliki kepemimpinan kuat, visi besar kemajuan, dan mampu mendorong perubahan mendasar bagi bangsa ini.
Peneliti senior Lembaga Survei Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan, berdasarkan beberapa kali survei dapat disimpulkan, kriteria capres yang paling dibutuhkan masyarakat adalah berintegritas, disusul memiliki kapabilitas.
(nta/ryo/iam/ato/k06)