JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemilihan Umum (KPU) membantah jika pihaknya telah kecolongan pada saat menyusun draf Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2013 tentang kampanye yang mengatur sanksi peliputan dan iklan media massa saat pemilihan umum. Selama ini, proses penyusunan draf selalu dilakukan oleh masing-masing biro yang menangani persoalan itu.
"SOP (standard operating procedure) kita sudah jelas bahwa peraturan itu dicantumkan berdasarkan peraturan yang ada pada UU Pemilu sebelumnya," kata Komisioner KPU, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, dalam konferensi pers di ruang Media Centre KPU, Rabu (17/4/2013).
Ferry mengatakan, SOP itu mengatur kinerja biro dalam penyusunan draf PKPU. Dalam peraturan sebelumnya, kata Ferry, pasal itu sudah ada. "Mereka (biro) hanya men-copy paste pasal yang ada pada peraturan sebelumnya," jelasnya.
Menurut Ferry, penyusunan rancangan PKPU mulanya dilakukan oleh setiap biro terkait. Draf itu kemudian diserahkan kepada komisioner untuk dibahas. Setelah dibahas di antara komisioner, KPU juga akan membahasnya dengan lembaga swadaya masyarakat. Draf itu kemudian diserahkan kepada pemerintah untuk dikoreksi. Hasil koreksi pemerintah itulah yang akan dijadikan sebagai draf final sebelum akhirnya disahkan menjadi PKPU.
Salah satu klausul dalam Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2013 itu merinci sanksi yang dijatuhkan kepada media massa terkait peliputan dan pemuatan iklan selama tahapan pemilu. Pasal 45 Ayat 2 peraturan itu menyatakan, "Dalam hal terdapat bukti pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, dan Pasal 43 Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers menjatuhkan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Penyiaran." Pasal 46 Ayat 1 merinci sanksi dari teguran tertulis sampai pencabutan izin media, dalam aturan huruf a sampai f, meskipun Ayat 2 Pasal 46 mengembalikan aturan teknis pemberian sanksi kepada Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Wakil Ketua Komisi II DPR, Arif Wibowo, Jumat (12/4/2013), menilai aturan tentang ancaman pemberedelan itu kebablasan. Ia berpendapat bahwa PKPU itu menabrak undang-undang di atasnya. Arif mengatakan pernah mengingatkan perihal pengaturan soal ancaman terhadap media massa itu dalam forum rapat konsultasi KPU dengan Komisi II DPR. Pengaturan media massa terkait peliputan selama masa kampanye merupakan salah satu isu krusial ketika pembahasan RUU Pemilu.
Mantan Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu itu mengatakan, pembahasan topik tersebut sampai mengundang seluruh pimpinan media massa, baik cetak maupun elektronik, dalam forum rapat dengar pendapat umum (RDPU). Dalam RDPU, Arif menawarkan kepada para pimpinan media massa apa saja yang perlu diatur terkait peliputan media selama tahapan pemilu, termasuk masa kampanye. Para pimpinan media yang hadir menyatakan tidak perlu UU Pemilu yang mengatur terlalu detail tentang aturan main media karena sudah ada UU Pers dan UU Penyiaran.
"Jadi, terkait peliputan atau iklan kampanye ada pelanggaran oleh pers, kembalikan saja ke Dewan Pers dan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Berdasarkan UU Pers dan UU Penyiaran, tidak perlu aturan KPU merinci sanksi untuk media," kata Arif.
Arif berpendapat, KPU cukup meminta Dewan Pers dan KPI bersikap tegas bila menemukan ada indikasi terkait pelanggaran kode etik jurnalistik dan ketentuan penyiaran.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.