Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meragukan Polri Tangani Kasus Korlantas? Ini Alasannya

Kompas.com - 07/08/2012, 12:11 WIB
Sandro Gatra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Berbagai pihak mendesak agar kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulasi roda dua dan empat untuk ujian surat izin mengemudi di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri ditangani sepenuhnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Desakan itu muncul lantaran besarnya keraguan masyarakat kepada Polri setelah berkaca pada kinerja Polri masa lalu. Contohnya, ketika Bareskrim Polri mengusut mafia kasus dan mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan.

Dalam kasus yang menarik perhatian luas masyarakat itu, tak ada perwira tinggi yang terjerat. Hanya polisi berpangkat komisaris dan ajun komisaris yang dimintai pertanggungjawaban.

Padahal, para saksi dan terdakwa ketika di persidangan menyebut beberapa perwira terlibat, seperti Ajun Komisaris Besar Mardiyani, Komisaris Besar Pambudi Pamungkas, Brigjen (Pol) Edmon Ilyas, dan Brigjen (Pol) Raja Erizman.

Bareskrim Polri menyebut tak ada bukti keterlibatan mereka dalam permainan kasus atau ikut mencicipi sebagian dana yang dikucurkan Gayus hingga puluhan miliar rupiah. Akibatnya, mereka hanya dikenakan sanksi kode etik dan disiplin berdasarkan sidang kode etik dan profesi di Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri.

Contoh lain, ketika Polri berhadapan dengan kasus rekening gendut perwira tinggi Polri. Kepolisian mengklaim tak ada tindak pidana dalam 23 rekening milik perwira tingginya. Polri juga tak mau mengungkap identitas pemilik rekening beserta besarannya meskipun Komisi Informasi Pusat (KIP) telah memutus bahwa informasi nama pemilik rekening beserta besaran nilai hartanya yang dikategorikan wajar adalah informasi yang terbuka.

Mangkrak

Kritikan publik bukan hanya perihal tak bergiginya penyidik Polri ketika menangani perkara yang melibatkan internal. Penetapan tersangka di Polri tidak menjamin penyidikan berjalan mulus hingga masuk ke pengadilan.

Contohnya, hingga saat ini Bareskrim Polri belum mampu melengkapi berkas perkara tersangka mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari terkait kasus dugaan korupsi proyek pengadaan alat kesehatan. Padahal, penetapan tersangka Siti telah dilakukan sejak pertengahan April 2012.

Kasus mangkrak lain, yakni perkara tersangka dugaan pemalsuan surat penjelasan keputusan Mahkamah Konstitusi, Zainal Arifin Hoesein. Padahal, Bareskrim Polri telah menetapkan mantan panitera MK itu sebagai tersangka sejak Agustus 2011.

Tak profesional

Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar menilai, mangraknya berbagai kasus itu menunjukkan profesionalisme penyidik Bareskrim lemah. Penetapan tersangka seharusnya didasari bukti yang cukup sehingga tak terkendala dalam proses penyidikan hingga masuk ke pengadilan.

Jika berkas perkara itu tak juga dinyatakan lengkap atau P21 oleh kejaksaan, penyidik dapat menghentikan penyidikan (SP3). Berbeda dengan KPK yang tak diberi kewenangan untuk menghentikan penyidikan.

"Kepolisian seharusnya membuat kepastian hukum. Kalau perkara terkatung-katung gitu, orang jadi ragu," kata Bambang.

Aktivis Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz, mempertanyakan penetapan lima tersangka kasus korupsi di Korlantas oleh Polri. Dia ragu penyidik telah melakukan penyelidikan hingga penyidikan sesuai prosedur. Pasalnya, Bareskrim Polri langsung menetapkan lima tersangka setelah KPK menetapkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai tersangka.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

    Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

    Nasional
    Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

    Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

    Nasional
    Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

    Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

    Nasional
    Ganjar Bubarkan TPN

    Ganjar Bubarkan TPN

    Nasional
    BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

    BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

    Nasional
    TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

    TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

    Nasional
    Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong 'Presidential Club'

    Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong "Presidential Club"

    Nasional
    Ide 'Presidential Club' Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

    Ide "Presidential Club" Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

    Nasional
    Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

    Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

    Nasional
    Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

    Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

    Nasional
    Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

    Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

    Nasional
    Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

    Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

    Nasional
    SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

    SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

    Nasional
    Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

    Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

    Nasional
    Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

    Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com