Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ada Sejumlah Kejanggalan Kecelakaan Pesawat Sukhoi Superjet 100

Kompas.com - 15/05/2012, 12:02 WIB
Sabrina Asril

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pilot pesawat Sukhoi Superjet 100 sempat meminta izin Air Traffic Control (ATC) untuk menurunkan pesawatnya dari 10.000 kaki ke 6.000 kaki di atas kawasan udara Atang Sanjaya. Tak lama setelah itu, komunikasi terputus dan ternyata pesawat justru menabrak tebing Gunung Salak, Bogor.

Penyelidikan tentang penyebab kecelakaan pesawat super canggih buatan Rusia tersebut hingga kini tengah dilakukan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Indonesia dan Rusia. Tim masih berusaha mencari kotak hitam (black box) untuk mengetahui penyebab kecelakan tersebut.

Sukamto, Safety Manager PT Sky Aviation, perusahaan yang sebelumnya tertarik membeli Sukhoi Superjet itu, menyadari banyak yang janggal dalam kecelakaan itu. Salah satunya adalah keputusan pilot menurunkan ketinggian dari 10.000 kaki ke 6.000 kaki. Padahal, tinggi Gunung Salak adalah 6.800 kaki.

"Kalau alasannya karena ada awan di depan, seharusnya lebih aman kalau pesawat itu naik ke atas dan bukannya turun karena itu 'kan kawasan pegunungan jadi bahaya kalau ada benturan," ujar Sukamto.

Selain itu, pesawat secanggih Sukhoi Superjet, lanjutnya, juga seharusnya mampu melewati turbulance yang timbul jika pilot tetap melaju melintasi awan. "Selama sistem navigasinya mumpuni, seharusnya pesawat bisa lewat awan itu. Saya tidak tahu kenapa pilot memutuskan turun sampai 4.000 kaki padahal itu beresiko," paparnya.

Ia pun mempertanyakan mengapa pihak ATC memberi izin pesawat untuk turun ke 6.000 kaki. Sukamto menilai jika alasan ATC karena pilot meminta turun saat di atas landasan Atang Sanjaya yang merupakan kawasan yang aman, maka ada hal janggal lainnya yang timbul. Pasalnya, pesawat tersebut justru mengarah ke lereng Gunung Salak, dan ada kemungkinan terbang rendah di kawasan tersebut.

"Kalau pesawat komersil biasa, prosedur turun 10.000 ke 6.600 belok kiri di Atang Sanjaya, lalu belok kiri lagi dari 6.000 ke 2.500 masuk ke Halim. Itu yang saya tidak mengerti, kenapa pesawat justru belok ke kanan, bukan ke kiri, walaupun bila dalam kondisi joyflight tidak ada aturan apa pun, " kata Sukamto.

Dugaan adanya manuver yang dilakukan sang pilot pun muncul. Namun, Sukamto memastikan bahwa dalam aturan joy flight pesawat penerbangan sipil, manuver tidak bisa dilakukan secara ekstrem.

"Kalau dia coba-coba, itu sudah melanggar, dan tidak mungkin dia lakukan karena resikonya sangat besar," kata Sukamto.

Sistem navigasi dan peringatan dini yang dimiliki pesawat seperti theater airborne warning system (TAWS) juga seharusnya bekerja memberikan informasi ke pilot. TAWS adalah perangkat peringatan dini pada pesawat mengenai rintangan di luar.

"Kalau ada lereng atau tebing di sekitar pesawat berkilo-kilometer sebelumnya, TAWS akan keluarkan bunyi tanda peringatan ke pilot. Harusnya alat ini bekerja apalagi dengan pesawat secanggih Sukhoi, pasti ada jarak yang cukup jauh sehingga TAWS ini akan berbunyi lebih cepat," ujar Sukamto.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

    Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

    Nasional
    Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

    Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

    Nasional
    Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

    Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

    Nasional
    Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

    Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

    Nasional
    Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

    Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

    Nasional
    Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

    Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

    Nasional
    Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

    Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

    Nasional
    Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

    Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

    Nasional
    Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

    Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

    Nasional
    PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

    PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

    Nasional
    Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

    Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

    Nasional
    Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

    Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

    Nasional
    Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

    Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

    Nasional
    Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

    Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

    Nasional
    PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

    PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com