JAKARTA, KOMPAS.com — Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menilai Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo harus bertanggung jawab atas ketidakberdayaan pihak kepolisian dalam menghadapi tindakan intoleransi. PDI-P menilai, tidak ada keadilan ketika penyelesaian hukum beberapa kasus belakangan ini.
"Penyerang tidak dijamah dan korban dikorbankan adalah praktik memprihatinkan dari kepolisian. Itu justru memunculkan konflik laten yang berkepanjangan. PDI-P memberi catatan kepada Kapolri di tahun pertama kepemimpinannya, kelompok-kelompok intoleran dengan eskalasi tindakan kekerasannya semakin memburuk," kata anggota Komisi III DPR dari F-PDIP, Eva Kusuma Sundari, melalui pesan singkat, Senin (7/5/2012).
Hal itu dikatakan Eva menyikapi tiga kasus yang terjadi dalam seminggu terakhir, yakni pertama, bentrokan antara massa ormas dan warga di Jalan RE Martadinata, Solo. Kedua, pembubaran secara paksa diskusi dan peluncuran buku yang berjudul Allah, Liberty and Love di Teater Salihara, Jakarta. Ketiga, penganiayaan terhadap aktivis Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) saat meliput aksi intoleran terhadap pelaksanaan ibadah jemaat HKBP Filadelfia di Bekasi, Jawa Barat.
Eva mempertanyakan sikap kepolisian di Solo yang membiarkan anggota ormas berkeliaran dengan menenteng senjata tajam hingga mengakibatkan korban luka. "Sebaliknya, warga yang mau mencegah justru ditodong pistol aparat dan dilarang keluar rumah. Yang parah, Kapolres Solo justru menyalahkan warga atas insiden yang dipicu dendam dua kelompok preman," kata Eva.
Eva menambahkan, insiden Salihara menunjukkan bahwa kepolisian aktif menjadi utusan ormas untuk membubarkan diskusi. Padahal, menurut dia, diskusi itu digelar di ruang yang tergolong privat.
"Terlepas dari kontroversi pandangannya, aktivis Kanada, (Irshad) Manji, adalah tamu sah negara dan masuk secara legal sehingga negara mempunyai kewajiban melindungi hak asasinya," kata Eva.
Adapun kasus HKBP Filadelfia, lanjut Eva, sama seperti kasus GKI Yasmin di Bogor. Putusan Mahkamah Agung terkait izin mendirikan bangunan gereja tidak ditegakkan oleh aparat negara, baik pemerintah daerah maupun kepolisian. "Aparat justru bergabung dalam pembangkangan hukum sesuai desakan kelompok intoleran," tutur dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.