JAKARTA, KOMPAS.com - Lembagan Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) meminta Dewan Perwakilan Rakyat menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial (RUU PKS). Elsam menilai, proses penyusunan draft RUU tersebut minim partisipasi masyarakat.
Selain itu, menurut Elsam, ada sejumlah pasal dalam RUU yang bermasalah serta berpotensi merugikan hak-hak warga negara. "Dari catatan kami, ada sembilan poin penting yang bermasalah," kata peneliti Elsam, Wahyudi Djafar dalam diskusi bertajuk "Sesat Pikir RUU Penanganan Konflik Sosial" di Jakarta, Minggu (8/4/2012).
Poin bermasalah yang pertama, kata Wahyudi, terkait konsiderannya. RUU PKS ini, katanya, lebih menekankan penggunaan mekanisme pembatasan hak asasi manusia ketimbang menekankan pada kewajiban negara dalam menjamin perlindungan hak asasi manusia.
Hal tersebut menjadi bermasalah mengingat penyebab utama terjadinya konflik sosial, menurut Wahyudi, adalah tidak terpenuhinya hak asasi seseorang. "RUU ini melupakan peraturan perundang-undangan yang dimandatkan untuk mencegah terjadinya suatu konflik dengan jalan pemenuhan hak asasi," ungkapnya.
Kedua, lanjut Wahyudi, terkait Pasal 3 dalam RUU tersebut. Wahyudi mengatakan, ketertiban dan Kepastian Hukum menjadi salah satu pilar utama dalam penanganan konflik, namun RUU ini justru melupakan pentingnya mekanisme penegakan hukum di dalam penyelesaian konflik. "Padahal seperti dicatat Elsam, problem utama berlarut-larutnya konflik adalah sebagai akibat ketiadaan mekanisme hukum yang fair dan adil," ujarnya.
Ketiga, terkait Pasal 6 yang tidak memberikan penjelasan detil dan terperinci mengenai batasan-batasan masalah yang dapat menjadi pemicu konflik sosial. "Setiap hal bisa dianggap sumber konflik mulai dari politik, agama, tanpa ada rumusan yang jelas. Tidak ada batas-batas apa yang dianggap sumber konflik sosial, demo kemudian bisa direpresikan dengan kekuatan militer," paparnya.
Hal tersebut, lanjut Wahyudi, tidak sejalan dengan Pasal 5 huruf (f) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menghendaki adanya kejelasan rumusan di dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Keempat, terkait Pasal 13 dalam RUU PKS tersebut. Berdasarkan pasal itu, katanya, tidak ada kejelasan mekanisme hukum yang digunakan dalam penetapan status konflik. "Apakah masih menggunakan mekanisme tertib sipil atau sudah menggunakan status darurat sipil?" ujarnya.
Mekanisme hukum dalam penetapan status konflik tersebut dinilai penting karena akan menentukan kewenangan masing-masing pemilik otoritas, baik sipil maupun militer. Kelima, terkait Pasal 17 yang memunculkan istilah "Forum Koordinasi Pimpinan Daerah" yang tidak pernah dijelaskan pengertianna pada bagian awal undang-undang tersebut. Dikhawatirkan, forum itu sifatnya sama dengan Muspida pada zaman orde baru, yang keberadaannya tidak lagi diakui.
Keenam, terkait Pasal 27 yang mengatur pembebasan sipil. Menurutnya, pembatasan dalam bentuk apapun, termasuk pembatasan kebebasan sipil, khususnya kebebasan untuk bergerak haruslah sejalan dengan prinsip-prinsip pembatasan hak asasi manusia. Artinya, pembatasan hak asasi tidak boleh dilakukan oleh otoritas yang tidak berwenang, tanpa adanya suatu keputusan dan aturan yang legal.