Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nazaruddin: Saya Korban Rekayasa Anas

Kompas.com - 02/04/2012, 20:09 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Terdakwa kasus dugaan suap wisma atlet SEA Games 2011, Muhammad Nazaruddin, tampak kesal atas tuntutan tujuh tahun penjara dari tim jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi. Nazaruddin menuding Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum merekayasa kasusnya.

Hal tersebut diucapkan Nazaruddin seusai persidangan yang mengagendakan pembacaan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (2/4/2012). "Saya memang korban rekayasa dari pemerintahan sekarang. Korban rekayasa Anas, yang memang membuat suatu cerita yang membuat saya terpojokkan. Itu yang saya sayangkan dari awal," kata Nazaruddin.

Dia mempertanyakan mengapa nama Anas tidak disebut dalam tuntutan jaksa. Menurut Nazaruddin, Anas sengaja diselamatkan dari jeratan kasus ini. "Kenapa dibilang tadi tidak ada Anas, sementara kan ada barang bukti yang ditunjukkan JPU, ada slip gaji, ada Anas, ada saya. Saya dapat informasi kalau Anas akan diselamatkan karena kepentingan umat. Kenapa Anas, otaknya, di sini enggak ada?" ujar mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu.

Nazaruddin mengklaim, tidak ada bukti dalam persidangan yang menunjukkan dirinya menerima suap berupa cek senilai Rp 4,6 miliar. Menurut Nazaruddin, perusahaan Grup Permai yang disebut jaksa sebagai perusahaan miliknya itu tidak pernah ada.

Dalam surat tuntutannya, JPU mengatakan bahwa cek senilai Rp 4,6 miliar itu kemudian dicairkan, lalu disimpan di brankas Grup Permai. Brankas tersebut dikuasai Nazaruddin beserta istrinya, Neneng Sri Wahyuni selaku Direktur Keuangan Grup Permai. "Kesimpulannya kan saya direkayasa. Sekarang begini, istri saya dibilang direktur keuangan, sementara di akte mulai pendirian, tidak ada nama istri saya. Ini bagaimana kan direktur masuk di akte, ini kan rekayasa awal," ujar Nazaruddin.

Meskipun menyebut Grup Permai tidak pernah ada, Nazaruddin mengatakan kalau Anas menjadi pengendali Grup Permai. Nazaruddin bingung mengapa nama Anas tidak disebut dalam tuntutan, sementara ada bukti slip gaji Anas selama 2008-2009 yang ditunjukkan dalam persidangan. "Itu jelas nama Anas ada, kenapa JPU tidak mengakui? Ada apa permainan rekayasa ini?" kata Nazaruddin.

Nazaruddin dituntut tujuh tahun penjara ditambah denda Rp 300 juta yang dapat diganti dengan enam bulan kurungan. Nazaruddin dianggap terbukti menerima suap berupa cek senilai Rp 4,6 miliar. Selaku anggota DPR, Nazaruddin mengatur agar PT Duta Graha Indah menjadi pelaksana proyek wisma atlet SEA Games 2011 di Palembang, Sumatera Selatan, dan Hambalang, Jawa Barat.

Untuk kepentingan kepengurusan pemenangan PT DGI, Grup Permai menggelontorkan dana Rp 16,7 miliar ke Badan Anggaran DPR dan ke pihak Kementerian Olahraga dan Pemuda melalui Wafid Muharam. Uang ke Banggar DPR diberikan melalui Angelina Sondakh dan Wayan Koster, sementara uang ke Wafid melalui Paulus Nelwan.

Atas tuntutan tersebut, Nazaruddin dan tim kuasa hukumnya akan mengajukan nota pembelaan atau pledoi yang dibacakan pada Senin (9/4/2012) pekan depan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

    Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

    Nasional
    Menag Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji: Semua Baik

    Menag Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji: Semua Baik

    Nasional
    Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet di Pilkada DKI Jakarta

    Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet di Pilkada DKI Jakarta

    Nasional
    Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

    Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

    Nasional
    Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

    Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

    Nasional
    Utak-Atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

    Utak-Atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

    Nasional
    Gibran Lebih Punya 'Bargaining' Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

    Gibran Lebih Punya "Bargaining" Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

    Nasional
    Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

    Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

    Nasional
    'Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran'

    "Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran"

    Nasional
    Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

    Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

    Nasional
    [POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

    [POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

    Nasional
    Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

    Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

    Nasional
    Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

    Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

    Nasional
    Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

    Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

    Nasional
    Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

    Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com