JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga sosial dan keagamaan The Wahid Institute mengungkapkan selama tahun 2011 telah terjadi peningkatan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di berbagai daerah di Indonesia. Jumlah pelanggaran itu meningkat dari dari 64 kasus pada 2010 menjadi 92 kasus pada periode 2011.
"Ini artinya telah terjadi peningkatan sebesar 18 persen dari tahun sebelumnya," ujar Peneliti The Wahid Institue, Rumadi saat jumpa pers "Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011" di Kantor Wahid Institute, Jakarta, Kamis (29/12/2011).
Rumadi mengungkapkan, bentuk pelanggaran paling tinggi adalah pelarangan pembatasan aktivitas keagamaan dan kegiatan ibadah dengan 49 kasus atau 48 persen. Setelah itu, diikuti dengan tindakan ancaman dan intimidasi oleh aparat negara 20 kasus (20 persen), pembiaran kekerasan 11 kasus (11 persen), kekerasan dan pemaksaan 9 kasus (9 persen), penyegelan dan pelarangan rumah ibadah 9 kasus (9 persen) dan kriminalisasi keyakinan 4 kasus (4 persen).
"Fakta-fakta pelanggaran ini membuktikan bahwa paradigma pemerintah tentang pengaturan agama dan keyakinan masih bias dan selalu menguntungkan mayoritas. Bahkan dalam implementasi di lapangan, penggunaan alasan ketertiban umum dan meresahkan masyarakat hanya diasosiasikan untuk kepentingan mayoritas semata," kata Rumadi.
Selain itu, Wahid Institue juga mencatat, daerah yang paling banyak terjadi pelanggaran tersebut adalah, Jawa Barat dengan 55 kasus atau 58 persen. Kemudian diikuti Banten 9 kasus (10 persen), NAD 5 kasus (6 persen), Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan masing-masing 4 kasus, dan daerah-daerah lainnya antara 1-2 kasus.
"Khusus untuk Jawa Barat, memang karena historis Jawa Barat adalah basis DI/TII yang memiliki paham keagamaan radikal dan intoleran. Meskipun secara institusi DI/TII tidak ada, namun ideologinya masih eksis dalam ormas-ormas garis keras di Jawa Barat," ujar Rumadi.
Sedangkan, catatan Wahid Institute lainnya, pihak yang paling banyak melakukan kekerasan itu paling banyak dilakukan oleh aparat kepolisian dengan 32 kali melakukan pelanggaran atau (32 persen). Kemudiaan, diikuti oleh Bupati, Walikota atau oknum-oknum pejabat di lingkungan kabupaten/kota 28 kali (23 persen), Tentara 16 kali (13 persen), Satpol PP (10 kali), Pemerintah Provinsi (8 kali), Kantor Kemenag atau KUA (8 kali).
Lebih lanjut, Rumadi mengemukakan, temuan tahun ini juga menunjukan bahwa Ahmadiyah adalah kelompok yang mengalami pelanggaran kebebasan beragama paling tinggi dengan 46 kasus atau 50 persen. Pascatragedi Cikeusik, Pandeglang, Banten, intensitas pelanggaran tersebut justru semakin meningkat.
"Banyak operasi yang memaksa mereka untuk keluar dari Ahmadiyah, termasuk dengan digelarnya operasi sejadah di berbagai daerah Jawa Barat. Belum lagi, keluarnya berbagai peraturan kepala daerah terkait pembatasan aktivitas Ahmadiyah ini telah mendorong sikap masyarakat lebih agresif melakukan kekerasan terhadap kelompok tersebut," kata Rumadi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.