JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan, korban perkosaan seharusnya mendapatkan perlindungan dan restitusi.
Selain harus mendapatkan perlindungan perlindungan hukum, fisik dan perlindungan psikis, korban juga berhak mengajukan upaya restitusi, agar pelaku dibebankan untuk membayar ganti kerugian terhadap korban dan keluarga korban.
Anggota LPSK Penanggungjawab Bidang Bantuan, Kompensasi dan Restitusi, Lili Pintauli Siregar, di Jakarta, Rabu (21/9/2011), menyatakan, LPSK sesuai dengan amanat UU Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, memiliki kewajiban dalam memberikan perlindungan dan bantuan terhadap korban pemerkosaaan, mulai dari perlindungan hukum, fisik dan perlindungan psikis.
"Selain pemberian perlindungan perlindungan hukum, fisik dan perlindungan psikis, korban juga berhak mengajukan upaya restitusi, agar pelaku dibebankan untuk memberi ganti kerugian terhadap korban dan keluarga korban" ujar Lili.
Menurut Lili, LPSK berharap adanya dukungan aparat penegak hukum serta pemerintah daerah setempat, untuk menginformasikan secara massif terhadap korban pemerkosaan mengenai hak-haknya, serta melakukan upaya pencegahan agar tidak terjadi tindakan pemerkosaan dan pencabulan yang akan mengancam posisi perempuan dan anak yang rentan menjadi korban.
Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai, menyatakan, sepanjang tahun 2010-2011, ada 10 korban pemerkosaan dan pencabulan yang mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK.
"Sepuluh korban tersebut justru rata-rata dialami oleh anak di bawah umur dan modus nya dilakukan dengan bujuk rayu dan penyekapan" kata Abdul Haris.
LPSK prihatin dengan maraknya berbagai kasus perkosaan sementara korban belum sepenuhnya tahu hak-hak mereka.
Sepanjang Januari hingga September 2011, berdasarkan data Kepolisian Daerah Metro Jaya telah terjadi 40 kasus pemerkosaan. Dari 40 kasus itu, tiga kasus pemerkosaan terjadi di dalam angkutan kota (angkot).
Fakta ini menunjukkan posisi perempuan sebagai korban, rentan terhadap kejahatan seperti pemerkosaan dan pencabulan. Kondisi ini diperparah dengan rentannya posisi korban terhadap terror, intimidasi, tidak terlindungi oleh hukum dan terisolir dari masyarakat luas.
Menurut Abdul Haris, negara memiliki tanggung jawab besar untuk menangani hal tersebut.
"Anak dan perempuan termasuk kelompok rentan yang harus mendapat perhatian dan penanganan yang lebih serius dari aparat penegak hukum dan lembaga negara yg memiliki mandat dalam isu perempuan dan anak serta dari masyarakat dan media massa. Tindakan tersebut dapat memulihkan kondisi korban dan memenuhi rasa keadilan bagi korban. Untuk itu, perlu kerja sama berbagai pihak dalam penanganan hal tersebut," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.