Indah Surya Wardhani
Sejak tahun 2004, citra buruk tampaknya selalu melekat pada lembaga wakil rakyat ini. Bahkan, untuk DPR periode 2009-2014, empat dari setiap lima responden jajak pendapat Kompas
Performa DPR juga tidak lebih baik dari DPR periode sebelumnya. Padahal, dari sisi latar belakang anggota sepertinya menjanjikan. Selain pekerjaan yang lebih beragam, usia lebih muda, tingkat pendidikan juga lebih tinggi.
Namun, potensi tersebut tidak berbanding lurus dengan prestasi. Kerja legislasi, misalnya, tidak mencapai target. Pada 2010, DPR hanya mampu merampungkan 16 undang-undang dari target program legislasi nasional sebanyak 70 undang-undang.
Undang-undang yang dihasilkan juga dinilai belum menyentuh substansi persoalan masyarakat, yang strategis bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Oleh karena itu, bisa dipahami jika mayoritas responden menilai performa di bidang legislasi DPR masih mengecewakan.
Fungsi anggaran yang diemban DPR juga dinilai masih rentan praktik korupsi, terutama dalam aspek politisasi pembentukan anggaran yang menciptakan celah mafia anggaran. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Antimafia Anggaran mencatat enam celah korupsi di DPR (21/8). Enam celah itu adalah besarnya wewenang Badan Anggaran, proses penyusunan yang tidak transparan, pos dana penyesuaian infrastruktur daerah, minimnya kajian antara alokasi dan kebutuhan daerah, ketiadaan rapat dengar pendapat publik, dan maraknya transaksi calo alokasi anggaran.
Mayoritas responden malah menyangsikan DPR terbebas dari praktik korupsi. Kasus suap pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang hanyalah satu contoh dari buruknya proses penyusunan dan pengawasan anggaran di DPR. Sejumlah persoalan kinerja tak urung membuat DPR berjarak dengan konstituen pemilihnya. Hampir seluruh responden (94,5 persen) menengarai DPR tersandera kepentingan individu anggota dan partai politik.
Pascareformasi, bandul kekuasaan negara mengayun ke ranah parlemen. Kekuasaan yang semula di tangan eksekutif (executive heavy) kini beralih ke genggaman legislatif (legislative heavy). Amandemen UUD 1945 memperkuat kedudukan DPR, dari sekadar lembaga ”stempel” pemerintah menjadi pemegang kekuasaan membentuk UU.