Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tingkatkan Kinerja DPR

Kompas.com - 05/09/2011, 02:10 WIB

Indah Surya Wardhani

Kewibawaan Dewan Perwakilan Rakyat dipertaruhkan. Besarnya kewenangan yang digenggam DPR saat ini jika dibandingkan pada era Orde Baru tidak serta-merta membuat kinerjanya menjadi optimal.

Sejak tahun 2004, citra buruk tampaknya selalu melekat pada lembaga wakil rakyat ini. Bahkan, untuk DPR periode 2009-2014, empat dari setiap lima responden jajak pendapat Kompas menilai buruk citra institusional DPR. Artinya, ini titik terendah citra DPR selama tiga tahun terakhir. Selain itu, DPR juga dinilai belum cerdas menangkap aspirasi kepentingan masyarakat.

Performa DPR juga tidak lebih baik dari DPR periode sebelumnya. Padahal, dari sisi latar belakang anggota sepertinya menjanjikan. Selain pekerjaan yang lebih beragam, usia lebih muda, tingkat pendidikan juga lebih tinggi.

Namun, potensi tersebut tidak berbanding lurus dengan prestasi. Kerja legislasi, misalnya, tidak mencapai target. Pada 2010, DPR hanya mampu merampungkan 16 undang-undang dari target program legislasi nasional sebanyak 70 undang-undang.

Undang-undang yang dihasilkan juga dinilai belum menyentuh substansi persoalan masyarakat, yang strategis bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Oleh karena itu, bisa dipahami jika mayoritas responden menilai performa di bidang legislasi DPR masih mengecewakan.

Fungsi anggaran yang diemban DPR juga dinilai masih rentan praktik korupsi, terutama dalam aspek politisasi pembentukan anggaran yang menciptakan celah mafia anggaran. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Antimafia Anggaran mencatat enam celah korupsi di DPR (21/8). Enam celah itu adalah besarnya wewenang Badan Anggaran, proses penyusunan yang tidak transparan, pos dana penyesuaian infrastruktur daerah, minimnya kajian antara alokasi dan kebutuhan daerah, ketiadaan rapat dengar pendapat publik, dan maraknya transaksi calo alokasi anggaran.

Mayoritas responden malah menyangsikan DPR terbebas dari praktik korupsi. Kasus suap pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang hanyalah satu contoh dari buruknya proses penyusunan dan pengawasan anggaran di DPR. Sejumlah persoalan kinerja tak urung membuat DPR berjarak dengan konstituen pemilihnya. Hampir seluruh responden (94,5 persen) menengarai DPR tersandera kepentingan individu anggota dan partai politik.

Kekuasaan besar

Pascareformasi, bandul kekuasaan negara mengayun ke ranah parlemen. Kekuasaan yang semula di tangan eksekutif (executive heavy) kini beralih ke genggaman legislatif (legislative heavy). Amandemen UUD 1945 memperkuat kedudukan DPR, dari sekadar lembaga ”stempel” pemerintah menjadi pemegang kekuasaan membentuk UU.

Selain penguatan kewenangan, perubahan UUD 1945 juga memungkinkan DPR ”menggerus” kekuasaan presiden dan memasuki ranah penegakan hukum. Amandemen pertama UUD 1945 pada 1999 menjadikan DPR sebagai lembaga dominan dalam pembentukan undang-undang, bukan sekadar lembaga yang memberi persetujuan.

Kedudukan DPR ini makin mantap dalam amandemen kedua UUD 1945 pada 2000 yang, antara lain, menegaskan fungsi DPR yang meliputi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Amandemen kedua ini juga menjamin hak menyampaikan usul, pendapat dan imunitas anggota DPR. Anggota DPR tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam rapat-rapat DPR. Kedudukan yang sejajar antara presiden dan DPR ditegaskan dalam amandemen ketiga UUD 1945 pada 2001 yang menyatakan presiden tidak dapat membekukan atau membubarkan DPR.

Perubahan UUD 1945 yang menggiring pada supremasi parlemen ini bukannya tanpa risiko. Kekuasaan DPR dijabarkan dalam UU Susunan dan Kedudukan Anggota Legislatif yang mengundang polemik. Peranan DPR dikritik berpotensi tumpang tindih dengan kewenangan lembaga tinggi lainnya, seperti MPR, presiden, dan Mahkamah Konstitusi.

DPR juga dituding sengaja merambah ranah penegakan hukum atau yudikatif demi meneguhkan dominasi. Misalnya, UU No 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan (Susduk) MPR, DPR, dan DPRD, yang mempertajam peran pengawasan DPR terhadap pemerintah. Selain mengatur tugas dan wewenang DPR, UU Susduk No 4/1999 juga menegaskan hak DPR untuk meminta keterangan presiden dan mengadakan penyelidikan. Bahkan, UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD semakin memperkuat kewenangan dengan memberikan hak untuk menyandera siapa pun yang menolak permintaan keterangan oleh DPR.

Berbekal peraturan-peraturan tersebut, DPR kini pun turut memberikan persetujuan dalam pemilihan sejumlah pejabat publik strategis, baik di ranah eksekutif maupun yudikatif, dari pengangkatan duta besar, anggota Komisi Yudisial, hingga pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepala Polri, dan Panglima TNI.

Sayangnya, supremasi kewenangan DPR tidak diimbangi dengan penguatan kelembagaan. Terbongkarnya sejumlah praktik suap dan korupsi di tubuh lembaga ini menunjukkan supremasi DPR kerap disalahgunakan. Hampir separuh responden jajak pendapat menilai kewenangan DPR saat ini terlalu besar.(Litbang KOMPAS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com