Persoalan itu bukan saja dapat mendorong timbulnya pelanggaran hak atas kebebasan yang bertalian dengan aktivitas keagamaan atau keyakinan orang atau golongan, tetapi juga suatu tindak kriminal.
Negara, baik melalui pemerintah maupun melalui aparat kepolisian, bukan saja mengemban kewajiban untuk menghormati (to respect), tetapi juga melindungi (to protect) hak atas kebebasan bagi setiap orang, terutama kebebasan dasar (fundamental freedom) seperti kebebasan beragama atau berkeyakinan.
Dengan kewajiban itu, negara tak boleh campur tangan terhadap kebebasan setiap orang dalam beragama atau berkeyakinan dan menjalankan ibadah. Negara juga berkewajiban menghormati orang yang melaksanakan ibadah secara kolektif dengan damai.
Bagaimana pelanggaran berlangsung?
Pertama, ketika campur tangan pemerintah atau polisi berupa tindakan sewenang-wenang berlangsung terhadap kegiatan beribadah, maka saat itulah terjadi pelanggaran.
Kedua, pelanggaran pasti lebih kokoh jika kebebasan beragama atau berkeyakinan dipecundangi oleh hukum atau UU seperti UU No 1/PNPS/1965 yang dikeluarkan rezim otoriter. Apalagi jika undang-undang ini justru memecundangi konstitusi atau UUD 1945 yang menghormati kebebasan beribadah secara damai.
Ketiga, UU itu juga dapat menjadi sumber kebijakan diskriminatif dalam pembangunan atau pendirian rumah ibadah bagi golongan minoritas sehingga tak heran jika mereka pun menjadikan rumah pribadi atau ruko sebagai rumah ibadah. Kebijakan dan praktik pemerintah yang berkarakter diskriminatif atas suatu golongan agama atau keyakinan dapat dituduhkan sebagai pelanggaran terhadap kebebasan beribadah.