JAKARTA, KOMPAS.com - Meski Indonesia sudah memiliki UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, namun penerapan undang-undang itu masih lemah. Khususnya perlindungan bagi whistle blower. Ketua PPATK, Yunus Hussein, menegaskan hal ini dalam seminar "Pemberlakuan Mekanisme Pembuktian Terbalik dan Perlindungan Whistle Blower" di Kampus UI Salemba, Jakarta, Rabu (21/4/2010). "UU 13/2006 masih memiliki banyak kelemahan. Perlindungan mengenai saksi pelapor justru ada dalam pasal 15 UU KPPU," ujarnya.
Pendapat ini juga disetujui oleh Mas Achmad Santosa, anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. "Penguatan harus dilakukan, terutama terhadap pasal 10 UU Perlindungan Saksi dan Korban," ujar Mas Achmad.
Perlindungan terhadap saksi pelapor harus dilakukan dengan merahasiakan identitas pelapor. Selain itu, pelapor juga harus dilindungi dari berbagai ancaman. Namun hal ini juga masih sulit dilaksanakan. "Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sendiri masih belum kuat untuk berfungsi sebagaimana mestinya," ujar Yenti Garnasih, dosen FH Universitas Trisakti.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.