Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masyarakat Sipil Harus Terjun Tangani Deradikalisasi

Kompas.com - 18/03/2010, 19:50 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah kalangan menilai pemerintah, terutama kepolisian dan instansi terkait lain, tidak punya rencana jelas soal penanganan para kombatan, yang diduga pelaku teroris, pascapenangkapan mereka dan pada saat mereka berada di dalam penjara. Akibatnya, alih-alih melakukan upaya deradikalisasi agar para kombatan tadi dapat kembali diterima dan beraktivitas normal di masyarakat, mereka justru ditempatkan dalam posisi tidak punya pilihan selain tetap menjalankan aksi teror yang bahkan bukan tidak mungkin malah lebih radikal dari sebelumnya.

Dengan begitu tidak mengherankan jika dalam temuan Detasemen Antiteror Polri di Aceh, seperti diwartakan, para kombatan tadi diketahui masih terdiri dari para pemain lama yang bahkan bisa tetap berhubungan walau berada dalam penjara. "Seharusnya dalam kondisi begitu masyarakat sipil (civil society) bisa mengambil alih untuk mengisi kekosongan. Polisi kan cuma sebatas legal formal. Setelah menangkap, ya sudah selesai. Dimasukkan penjara. Padahal yang seperti itu sama sekali tidak cukup," ujar Noor Huda Ismail dari Yayasan Prasasti Perdamaian di Jakarta, Kamis (18/3/2010).

Seharusnya pemerintah juga bisa mempertimbangkan dinamika internal, terutama di dalam penjara. Selama ini karena ketidakpahaman, orang-orang itu punya keleluasaan seperti memberi pengajian bahkan dari penjara ke penjara. Dengan keleluasaan macam itu bukan tidak mungkin yang terjadi justru pengkristalan dan penyebaran ajaran radikal. Tambah lagi pemerintah juga tidak punya program jelas soal penanganan pasca dipenjara (post detention). Padahal jika dipahami, para kombatan yang diduga teroris itu sebenarnya berada dalam posisi terjepit dan mengalami stigmatisasi ganda, baik dari masyarakat karena dianggap teroris, maupun dari kelompok tempat mereka bernaung sebelumnya karena dianggap berkhianat.

Kondisi seperti itu, menurut Huda, seharusnya bisa dijadikan peluang agar mereka bisa kembali di masyarakat. Caranya dengan memanusiakan mereka dan memberi kesempatan untuk bisa mandiri secara ekonomi. Dengan begitu, boleh-boleh saja pemikiran radikal masih ada di dalam kepala mereka. Akan tetapi sepanjang kesempatan untuk mendapat akses menuju kekerasan bisa ditutup, dalam artian menurunkan tingkat kekerasan (violence)-nya, hal itu tidak perlu dikhawatirkan lagi. "Beberapa dari mereka yang datang kami beri kesempatan berusaha. Misal dengan berusaha membuka tambak ikan, berkebun cokelat, atau bahkan bermain saham. Dari situ mereka merasa di-wongke (dimanusiakan) dan mereka diberi alternatif cara berpikir lain," ujar Huda.

Terkait upaya rehabilitasi dan deradikalisasi, pemerintah menurut Huda seharusnya belajar dari negara lain, salah satunya seperti kebijakan rehabilitasi para kombatan di Irlandia Utara. Huda mempertanyakan apa yang telah dan bisa dilakukan pemerintah terhadap para kombatan yang sudah menjalani masa hukuman mereka. Dari sekitar 450-an orang kombatan, sebanyak 200-an orang telah dilepaskan kembali ke masyarakat.

Lebih lanjut Huda mengakui masih terdapat dilema soal perlu tidaknya membuat penjara khusus kasus teroris atau cukup diterapkan seperti sekarang berjalan, menempatkan para kombatan tadi dalam penjara yang juga menampung para pelaku kriminal biasa.

Kesulitannya, tambah Huda, kalau dicampur mereka bisa saja membangun jaringan dan merekrut orang atau simpatisan baru. "Akan tetapi kalau dipisahkan lalu antar mereka saja dikumpulkan, bukan tidak mungkin hubungan antar mereka justru malah semakin mengkristal dan mengeras. Sampai sekarang polisi juga belum mampu mendalami dinamika dalam kelompok ini. Padahal hal itu sangat penting. Tidak sedikit, mereka yang sebelumnya hanya cheerleaders (tidak punya peran signifikan), setelah ditangkap dan dipenjara malah naik kasta," ujar Huda.

Lebih lanjut saat dihubungi terpisah, mantan Kepala Badan Intelijen dan Strategis (Bais) TNI Marsdya Ian Santoso Halim Perdanakusuma menilai para pelaku teroris seharusnya tidak dilihat atau diperlakukan layaknya pelaku kriminal lantaran mereka adalah tawanan perang hasil dari operasi kontra-pemberontakan (counter insurgency). "Mereka itu basisnya fanatisme ideologis, bukan kelasnya kriminal biasa. Jelas penjaranya bukan penjara kriminal. Menyelesaikan terorisme butuh waktu panjang dengan cara-cara intelijen dan bukan dengan operasi tempur terbuka," ujar Ian.

Ian menambahkan, isu keamanan global bukan lah jawaban tepat untuk menangani masalah terorisme di tanah air. Kerja sama dengan negara lain boleh jadi memang penting. Akan tetapi tidak lantas menjadikan musuh negara lain menjadi musuh Indonesia juga. "Problem utama sekarang, kita sudah tidak lagi punya komitmen terhadap konsensus nasional yang empat pilar, Pancasila, Negara Kesatuan RI, Undang-Undang Dasar 1945 versi asli, dan Bhinneka Tunggal Ika," ujar Ian.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menko Polhukam Harap Perpres 'Publisher Rights' Bisa Wujudkan Jurnalisme Berkualitas

Menko Polhukam Harap Perpres "Publisher Rights" Bisa Wujudkan Jurnalisme Berkualitas

Nasional
Saksi Sebut Kementan Beri Rp 5 Miliar ke Auditor BPK untuk Status WTP

Saksi Sebut Kementan Beri Rp 5 Miliar ke Auditor BPK untuk Status WTP

Nasional
Kasus Dugaan Asusila Ketua KPU Jadi Prioritas DKPP, Sidang Digelar Bulan Ini

Kasus Dugaan Asusila Ketua KPU Jadi Prioritas DKPP, Sidang Digelar Bulan Ini

Nasional
Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Nasional
Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Nasional
KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

Nasional
Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Nasional
Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Nasional
Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Nasional
Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Nasional
PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

Nasional
Tanggapi Ide 'Presidential Club' Prabowo, Ganjar: Bagus-bagus Saja

Tanggapi Ide "Presidential Club" Prabowo, Ganjar: Bagus-bagus Saja

Nasional
6 Pengedar Narkoba Bermodus Paket Suku Cadang Dibekuk, 20.272 Ekstasi Disita

6 Pengedar Narkoba Bermodus Paket Suku Cadang Dibekuk, 20.272 Ekstasi Disita

Nasional
Budiman Sudjatmiko: Bisa Saja Kementerian di Era Prabowo Tetap 34, tetapi Ditambah Badan

Budiman Sudjatmiko: Bisa Saja Kementerian di Era Prabowo Tetap 34, tetapi Ditambah Badan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com