JAKARTA, KOMPAS.com — Wartawan senior Harian Kompas yang kini menjabat Wakil Pemred, Trias Kuncahyono, meluncurkan buku terbarunya berjudul Jalur Gaza: Tanah Terjanji, Intifada, dan Pembersihan Etnis, di Universitas Paramadina, Rabu (28/10) malam. Peluncuran buku ditandai dengan diskusi bersama pembicara Prof Komarudin Hidayat dan Dr Kusnanto Anggoro.
Saat memberi pengantar diskusi, Kusnanto menggambarkan apa yang terjadi di Gaza sebagai monumen hidup yang lebih dahsyat dari sejarah. Persoalan Gaza, menurut dia, jauh lebih kompleks karena tidak adanya garis demarkasi seperti pada Perang Dunia. Disebut perang, tidak ada garis demarkasi, maka sulit membayangkan akhir dari peperangan atau konflik.
Buku menjadi menarik, kata Kusnanto, karena beberapa hal. Salah satunya adalah kaya akan cerita-cerita human interest. Misalnya, bagaimana Trias diberi fasilitas internet gratis oleh penduduk Palestina hanya karena orang itu merasa "diorangkan".
Karena buku ditulis oleh seorang wartawan, kata Kusnanto, maka Trias terbebas dari "dosa akademik". Kusnanto, misalnya, menyebut kata "pembersihan etnis" (genosida) yang bisa misleading karena yang terjadi di Palestina adalah "peperangan saudara sedarah".
Komarudin menjelaskan, buku Jalur Gaza ditulis dengan gaya novel meski menyajikan fakta sejarah yang nyata. "Fakta sejarah yang ditulis secara cair dan mengalir membuat buku Trias enak dibaca," katanya.
Menjawab pertanyaan bahwa yang concern terhadap masalah Palestina adalah negara non-Arab, Komarudin menjelaskan, sumber peperangan bukan semata-mata agama, melainkan lebih kepada persoalan tanah air. Di Palestina, kata Komarudin, ada pembelaan terhadap kabilah (suku), ghanimah (harta rampasan), dan aqidah (agama). "Ketiga hal ini menghasilkan konflik dan peperangan yang dahsyat," katanya.
Komarudin menambahkan, di Palestina timbul teori konspirasi, yakni perang antar-agama, misalnya, ada Yahudi yang bekerja sama dengan pihak Barat untuk menguasai minyak Arab. Israel, misalnya, proyek yang di-back up Barat dan Barat menghancurkan budaya Islam. Semua isu berseliweran dan menghasilkan militansi dan radikalisme.
Trias menanggapi kritik Kusnanto tentang mengapa ia harus menggunakan istilah "pembersihan etnis". Alasannya, karena Israel menggunakan senjata baru untuk menghancurkan Palestina. Israel menggunakan bom fosfor putih yang membakar kulit dari puser ke bawah. Bom yang bekerja di bawah ini, kata Trias, mengakibatkan banyak korban anak-anak dan kaum perempuan. "Apa ini bukan pembersihan etnis namanya," kata Trias yang mengaku harus membela diri atas kritik Kusnanto.
Sebelum diskusi dimulai, Trias membacakan puisi yang ditulis penyair Palestina, Yusuf Al Khatib, tentang kepedihan rakyat Palestina atas penjajahan Israel. Trias menjelaskan, buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas (PBK) ini merupakan catatan dan pandangan mata perjalanan di Jalur Gaza.
Trias misalnya mengatakan, jika ada satu rumah diduga dihuni Hamas, pastilah rumah itu dibom. Fakta di lapangan dipadu dengan kerangka sejarah. Dari diskusi dengan warga Palestina, kata Trias, rata-rata mereka menyayangkan pimpinan Palestina yang tidak pernah bersatu.
Saat membuka diskusi, Rektor Universitas Paramadina Anis Baswedan mengatakan, buku Trias mengisi kekosongan minimnya buku Palestina, khususnya Gaza, yang ditulis oleh orang Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.