Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Media Lepas dari Diktator Masuk ke Kapitalis

Kompas.com - 25/08/2009, 19:02 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Bisa dikatakan, media menjadi kekuatan keempat di sebuah negara setelah legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Namun, saat ini peran media, terutama independensinya, mulai digerogoti oleh kekuatan pasar.

"Pendapat saya, redaksi di media yang independen idealnya independen secara internal maupun eksternal," kata Anett Keller, penulis buku Tantangan dari Dalam Otonomi Redaksi di 4 Media Cetak Nasional, dalam diskusi bukunya di Jakarta, Selasa (25/8).

Menurut perempuan Jerman lulusan S-2 bidang jurnalistik dan ilmu politik di Leipzig itu, independensi pers mengalami dualisme. Satu sisi dijamin dalam UUD 1945, sedangkan di sisi lain pengemban amanah tersebut adalah swasta. "Maka kerap terjadi konflik kepentingan di sana," kata perempuan yang saat ini menjadi koresponden surat kabar The Asia Pacific Times itu.

Menurut dia, saat ini media mulai cenderung ke pasar. Dengan demikian, keberagaman opini dan catatan kritis terhadap suatu persoalan menjadi sangat hati-hati dan kurang.

Pemimpin Redaksi Kompas Rikard Bagun yang juga menjadi pembicara dalam diskusi itu mengatakan, Kompas saat ini lebih rumit menghadapi somasi daripada menghadapi Soeharto. 

Kejadian ini, lanjutnya, bisa terjadi karena demokrasi belum tumbuh menjadi budaya. "Sebagai pilar keempat oke. Namun, yang terjadi ini mau dimatikan melalui somasi, gugatan. Demokrasi baru teknis saja," tuturnya.

Apa yang dialami Kompas juga dialami oleh Koran Tempo. Menurut Metta Dharmasaputra, Redaktur Koran Tempo, saat ini kekuatan modal tidak bisa dihindari. Independensi media menjadi taruhannya. "Indepensi bukan soal keberanian. Tapi setelah era reformasi keberanian tidak cukup. Saat ini independensi terkait juga dengan hitung-hitung uang," kata Metta.

Kemudian ia mengungkap kasus gugatan Tommy Winata ke Tempo. Saat itu Goenawan Muhammad, Pendiri Majalah Tempo, mengumpulkan semua redaksi dan wartawan. "Kesimpulannya, lawan! Tapi, biayanya tetap dihitung. Independensi harus dihitung dari rupiah ke rupiah. Independensi bukan soal ideologi, tapi juga modal," ia menjelaskan.

Lebih lanjut, Rikard menuturkan, bagi pemilik media yang mempunyai latar belakang media maka pemikirannya adalah good journalism, kredibel, sirkulasi, dan iklan. "Tapi kalau yang punya media berlatar belakang bisnis-ekonomi maka logika terbalik. Yang dipikirkan terlebih dahulu adalah apakah ada iklannya atau tidak. Ini mengancam independensi," tegasnya.

Ke depan, Metta mengatakan bahwa persoalan independensi ini menjadi tantangan besar. Apakah media menjadi corong pemilik modal atau bisa tetap independen di atas pemilik modal?

Rikard menambahkan, tantangan itu juga datang dari dunia multiplatform, multichannel, dan multimedia yang berkembang saat ini. "Sekalipun demikian, yang perlu diingat kebebasan dan independensi media harus menghasilkan antitesa, yakni rasa tanggung jawab," demikian Rikard Bagun.

File Foto: FES

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com