JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Center for Strategic and Internasional Studies (CSIS) Tobias Basuki mengatakan, terdapat banyak potensi masalah dalam penerapan pemungutan suara secara elektronik (e-voting). Salah satunya potensi korupsi.
"Ketika waktu diadakan e-KTP aja korupsinya besar sekali. Di sini, potensi korupsinya jauh lebih besar lagi. Jumlah TPS (tempat pemungutan suara) banyak, apalagi serentak," kata Tobias di kantor CSIS, Jakarta, Selasa (14/3/2017).
Potensi korupsi dakam penerapan e-voting dapat terjadi melalui pengadaan barang dan jasa. Banyak infrastruktur yang diperlukan untuk penggunaan e-voting di 34 Provinsi.
Selain server dengan keamanan tingkat tinggi yang memakan banyak biaya, peralatan lain saat pemilih suara juga tidak terhindarkan, termasuk dalam perawatan alat e-voting untuk digunakan di kemudian hari.
(Baca: Soal "E-Voting", KPU Akui Sudah Didatangi Vendor)
Tobias menilai, penerapan e-voting dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap pemilu dan penyelenggara pemilu. Saat suara diberikan dengan e-voting, tingginya akses keamanan dapat menghilangkan transparansi terhadap pemilih.
"Ini bisa black box, masyarakat bisa tidak yakin lagi dengan sistem e-voting ini. Transisi itu belum perlu, kan sistem kita saat ini sudah jalan sangat baik. Kita dipuji dunia," ujar Tobias.
Tobias menilai, Indonesia hingga membutuhkan e-voting dalam pemilu 2019. Beragamnya kondisi geografis Indonesia, dinilai akan membuat masalah baru jika e-voting diterapkan tanpa pertimbangan matang.
"Itu rumit karena di pelosok minim teknologi. Kemudian penyelenggaranya, itu kan TPS 540.000 lebih, berarti harus latih 500.000 orang yang bisa operasika itu," katanya.
E-voting rencananya akan diterapkan dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2019. Saat ini, anggota panitia khusus (pansus) rancangan Undang-undang Pemilu sedang mempelajari penerapan e-voting di Indonesia. Mereka melakukan studi banding ke Jerman dan Meksiko pada 11-16 Maret 2017.