Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menenun Semangat Kebangsaan

Kompas.com - 30/01/2017, 15:14 WIB

Oleh: Fathorrahman Ghufron

Ada sebuah kegelisahan yang selalu menggeliat dalam benak kita manakala mencermati fenomena radikalisme yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.

Mengapa radikalisme kerap kali berujung kekerasan? Apakah kekerasan sudah menjadi sebuah habitus utama yang memang ditakdirkan oleh pelaku radikalisme untuk mengekspresikan segala macam pikiran dan perilakunya? Dan, ketika pelaku radikalisme banyak didominasi oleh kelompok keagamaan tertentu, apakah naluri keberagamaan mereka memang dibaluti oleh ajaran kekerasan yang diyakini sebagai khitahnya?

Beberapa pertanyaan di atas merupakan cermin analitik yang banyak dikupas oleh berbagai kalangan yang secara khusus mengkaji dan meneliti fenomena radikalisme yang banyak disertai kekerasan. Tulisan Mark Juergensmeyer, ”Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama” jadi salah satu kajian empiris perihal radikalisme yang begitu masif dimanfaatkan sekelompok orang sebagai ekspresi tindak kekerasan.

Apalagi ketika naluri keberagamaan yang radikalistik beririsan dengan semangat fundamentalisme untuk menegakkan paham keagamaan secara subyektif yang didominasi oleh ciri berpikir yang absolut, non-dialogis, apologetik-defensif, dan pengklaim kebenaran. Maka, yang bermunculan adalah sikap kefanatikan yang mewujud dalam bentuk perasaan sentimen dan penyesatan terhadap serangkaian perbedaan yang ada.

Atas dasar potret radikalisme yang begitu durjana, kita pun bertanya-tanya, bagaimana cara efektif untuk menangkal dan mengatasi radikalisme tersebut? Apalagi, berdasarkan hasil survei INFID dan jaringan Gusdurian di sejumlah kota di Indonesia, 88,2 persen penduduk Indonesia menolak tindakan radikalisme yang berbasis agama. Lalu, adakah jalan lain yang bisa dijadikan panduan etis dan landasan etos untuk menciptakan kedamaian dalam kehidupan kita, yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah rahmatan lil alamin?

Meneguhkan Pancasila

Tulisan Donny Gahral Adian berjudul ”Radikalisme dan Pancasila” (Kompas, 14/1) menjadi catatan menarik untuk direfleksikan bersama: bahwa untuk menangkal radikalisme bisa melalui Pancasila yang didasari oleh semangat kolektivitas, yaitu lima sila yang terkandung dalam Pancasila sejatinya mencerminkan ide-ide kolektivitas. Ketika kita berketuhanan, maka kita harus memelihara solidaritas antarmanusia pula.

Pandangan Donny Gahral Adian ini memberikan wawasan lebih kepada kita bahwa dalam meneguhkan Pancasila, Pancasila harus diawali dengan cara kita membangun sebuah pola pikir yang menyeluruh terhadap lima sila yang termuat di dalamnya.

Semisal, ketika kita memahami dan menghayati sila pertama, kita tidak bisa menafikan dan menegasi keberadaan manusia lainnya—yang basis ontologisnya termaktub dalam sila kedua— yang memiliki sistem kepercayaan yang berbeda. Sebab, jika itu yang dilakukan, sila ketiga yang menyerukan spirit persatuan tidak akan bisa dilaksanakan dengan baik.

Demikian halnya sila keempat yang menyerukan spirit kehikmatan melalui mekanisme permusyawaratan dan atau perwakilan, tidak akan bisa berjalan dengan baik jika di antara kita masih memahami sila pertama secara sektoral dan parsial. Apalagi ketika kita akan membincangkan ihwal keadilan sosial, yang bisa meliputi semua rakyat Indonesia, maka sangat mustahil untuk membangun iklim kesetaraannya.

Dengan demikian, semangat kolektivitas yang menghubungkan antara satu sila dan sila yang lain di dalam meneguhkan Pancasila menjadi modalitas keterjalinan antara satu sikap dan sikap yang lain untuk mewujudkan pelibatan empatik dalam perilaku kita.

Kita tidak lagi mempersoalkan perbedaan keyakinan, perbedaan ras, perbedaan ideologi dalam menenun semangat kebangsaan, dan menyikapi persoalan keindonesiaan. Akan tetapi, yang patut disadari, kita adalah sesama manusia yang senasib sepenanggungan, yang lazimnya harus peduli bersama terhadap tegaknya kedamaian negara ini. Oleh karena itu, dalam meneguhkan Pancasila, perlu memerhatikan ikatan bersama dengan perasaan kolektif bahwa kehidupan yang damai akan tercipta jika antara satu dan yang lain sama-sama berempati secara lintas batas.

Nilai-nilai ”rahmatan lil alamin”

Dengan menempatkan ide-ide kolektivitas dalam meneguhkan Pancasila dan disertai dengan sikap pelibatan secara empatik antara satu dan yang lain, maka seiring dengan waktu Pancasila akan menjadi pandangan hidup berbangsa dan bernegara yang dapat memberikan suatu pedoman mengenai nilai kehidupan yang mengedepankan kedamaian bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com