JAKARTA, KOMPAS.com - Setara Institute mencatat setidaknya ada 208 jenis pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi sepanjang tahun 2016. Pelanggaran tersebut berupa 270 tindakan yang terjadi di 24 provinsi di Indonesia.
"Ini meningkat signifikan dibandingkan tahun lalu. Secara peristiwa ada 11 peningkatan, dari sisi tindakan meningkat 34 angka," ujar peneliti Kebebasan Beragama Setara Institute, Halili, di Jakarta, Minggu (29/1/2017).
Kategori pelaku terbagi dua, yakni aktor negara dan aktor non-negara. Dari aktor negara, tindakan yang paling banyak melanggar kebebasan beragama yaitu diskriminasi sebanyak 21 kasus. Disusul dengan pembiaran sebanyak 17 kasus. Posisi ketiga ditempati dengan tindakan kebijakan diskriminatif dengan 13 kasus.
"Dari 18 aktor negara yang terlibat, yang paling besar dari kepolisian sebanyak 37 tindakan," kata Halili.
Sementara itu, ada juga aktor non-negara yang meliputi antara lain kelompok masyarakat dan aliansi ormas keagamaan. Tindakan yang paling banyak dilakukan dalam kategori ini yaitu intoleransi dengan 39 tindakan, penyesatan 15 tindakan, dan intimidasi dengan sembilan tindakan. Disusul dengan ujaran kebencian, ancaman, pelarangan pendirian tempat ibadah, hingga pembubaran ormas keagamaan.
Melihat tren pelanggaran kebebasan beragama yang meningkat, Halili mendesak pemerintah untuk putar otak agar ke depannya pelanggaran serupa tak terjadi lagi.
"Kalau pemerintah tidak melakukan kebijakan hukum, pendidikan, memastikan kelompok keagamaan dijamin, maka tren itu akan terus terjadi," kata Halili.
Halili menilai, selama dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, belum ada perbaikan signifikan dari sisi kebebasan beragama. Ia menganggap pemerintah terlalu fokus pada kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan ketimbang hak asasi seseorang dalam beragama.
"Mungkin Jokowi-JK fokus ke pembanguan infrastruktur dan ekonomi. Mungkin bagi mereka isu ini wajar saja sehingga dikesampingkan," kata dia.