JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah antropolog yang menamakan diri Gerakan Antropolog untuk Indonesia berencana mengajukan uji materi Pasal 156 KUHP tentang penodaan agama ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kami akan melaksanakan judicial review dengan memberikan kesaksian-kesaksian bagaimana persoalan penistaan agama itu dalam perspektif kehidupan sosial, perspektif antropologi," ujar inisiator gerakan itu, Yando Zakaria saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (16/1/2017).
Dilihat dari perspektif antropologi dan sosiologi, unsur pada pasal penodaan agama dinilai sangat lentur dan relatif.
(Baca: Kuasa Hukum Ahok Nilai Kasus Penodaan Agama Politis, Ini Alasannya)
Akibatnya, pasal itu pun dapat dipolitisasi oleh kelompok agama tertentu. Yando mencontohkan, agama tertentu pasti menilai agama lain bukanlah kebenaran.
Dalam perspektif agama, hal itu adalah wajar. Namun, dalam perspektif sosial politik, hal itu jadi persoalan lantaran dapat menimbulkan gesekan.
"Bahkan, tanpa sadar kita semua melakukan penistaan agama. Lalu apa fungsinya pasal itu?" ujar Yando.
Para antropolog, lanjut Yando, berpendapat agar bentuk atau unsur penodaan agama dikembalikan ke pasal-pasal pidana umum.
(Baca: Kuasa Hukum Ahok Sebut Kasus Penodaan Agama "Setting"-an)
Misalnya, fitnah, pencemaran nama baik hingga pasal soal merusak barang milik orang lain. Lagipula, sejumlah negara telah mencabut pasal atau undang-undang semacam itu dan kehidupan sosialnya semakin baik.
"Kami menggunakan basis ilmu antropologi. Jadi kami ini bebas dan tidak terkait dengan kekuatan politik tertentu," lanjut Yando.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.