JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Bidang Investigasi Densus 88 Faisal Tayeb mengatakan, penguatan intelijen menjadi salah satu upaya pencegahan terorisme.
Para intelijen melakukan pantauan selama 24 jam terhadap aktivitas calon pelaku teror.
"Dengan monitoring itu banyak informasi awal, serangan bisa kami gagalkan," kata Faisal dalam paparannya pada simposium di Universitas Indonesia, Depok, Rabu (30/11/2016).
(baca: Daya Ledak Bom Racikan Teroris Majalengka Dua Kali Lipat Lebih Kuat dari Bom Bali)
Meski demikian, Faisal menuturkan, pihaknya tidak bisa langsung melakukan penangkapan. Densus 88, kata dia, harus menunggu calon pelaku teror membuat bom terlebih dahulu.
"Bomnya sudah utuh, sebelum dia menyerang, kami tangkap. Tapi kami juga khawatir kalau terus-terusan seperti itu lama-lama kami kebagian bom. Ini salah satu kelemahan," ucap Faisal.
Selain itu, Faisal menyebutkan, pencegahan dilakukan dengan kontra radikalisasi dan konter naratif wacana radikalisme.
(baca: Polisi Tangkap Dua Terduga Teroris yang Incar Gedung DPR dan Mabes Polri)
Faisal mengakui, sebelumnya kedua upaya tersebut belum dilakukan secara maksimal. Sebenarnya, upaya tersebut masih bersifat sektoral.
"Belum berkembang seperti sekarang. Sekarang ada BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) bisa dikoordinasikan dengan kementerian dan lembaga," ucal Faisal.
Kini, BNPT tengah merancang satuan tugas (satgas) penanggulangan terorisme dengan 17 kementerian dan lembaga.
Draf satgas tersebut telah berada di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM.
Fasial mengaskan, Densus 88 menekankan pendekatan hukum dan strategi yang dapat dipertanggung jawabkan dalam menangani terorisme.