JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Indonesian Center for Environmental Law, Isna Fatimah menilai penerbitan surat perintah penghentian penyedikan (SP3) 15 perusahaan yang diduga melakukan pembakaran hutan dan lahan pada 2015 silam penuh kejanggalan.
Kejanggalan tersebut ditemukan melalui keterangan penyidik dan saksi ketika rapat pembahasan yang digelar oleh Panitia Kerja Kebakaran Hutan dan Lahan (Panja Karhutla) Komisi III DPR RI beberapa waktu lalu.
Menurut Isna, salah satu kejanggalan penerbitan SP3 tampak dalam keterangan Wakil Direktur Kriminal Khusus Polda Riau, AKBP Ari Rahman Navarin yang menyatakan bahwa tidak ada pasal yang dipersangkakan dalam berkas SP3.
"Ini mengindikasikan ada kecacatan kronis pada saat penyidikan," ujar Isna dalam diskusi media di Sekretariat Kontras, Jakarta, Senin (3/10/2016).
Selain itu, kata Isna, pernyataan penyidik bahwa sumber api berasal dari lahan konsesi yang dikuasai masyarakat mengindikasikan abainya perusahaan terhadap kewajiban mencegah kebakaran terjadi.
(Baca: Jokowi Didesak Perintahkan Polri Buka Gelar Perkara Khusus Kasus SP3 Karhutla)
"Alasan ini mengafirmasi bahwa telah terjadi kebakaran di wilayah izin. Ini bisa mengerucut pada kesimpulan bahwa pemegang izin dapat dituntut pertanggungjawaban pidana sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004," ucap Isna.
Isna juga menyangsikan alasan ketidakcukupan bukti yang didasarkan pada keterangan ahli. Menurut Isna, kredibilitas dan obyektivitas ahli meragukan karena hanya pegawai Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Riau yang mempunyai kewajiban mengawasi kegiatan usaha.
"Ahli yang dihadirkan dari BLH Riau bukan ahli kebakaran hutan dan lahan. Dia tidak memiliki kredibilitas dan tidak objektif dalam melihat perkara ini," tutur Isna.
Kebakaran hutan hebat terjadi di Riau pada Juli 2015. Dalam kebakaran tersebut ditemukan unsur kesengajaan yang akhirnya menyeret 15 perusahaan serta 25 orang untuk berurusan dengan polisi.
Adapun kelima belas perusahaan tersebut adalah PT Bina Duta Laksana (HTI), PT Ruas Utama Jaya (HTI), PT Perawang Sukses Perkasa Indonesia (HTI), PT Suntara Gajah Pati (HTI), PT Dexter Perkasa Industri (HTI), PT Siak Raya Timber (HTI), dan PT Sumatera Riang Lestari (HTI).
Lalu, PT Bukit Raya Pelalawan (HTI), PT Hutani Sola Lestari, KUD Bina Jaya Langgam (HTI), PT Rimba Lazuardi (HTI), PT PAN United (HTI), PT Parawira (Perkebunan), PT Alam Sari Lestari (Perkebunan), dan PT Riau Jaya Utama.
Namun Polda Riau mengeluarkan SP3 kepada 15 perusahaan tersebut. Alasannya tak ada bukti yang mengarah bahwa 15 perusahaan tersebut membakar hutan dan lahan.