JAKARTA, KOMPAS.com - Jelang pilkada serentak 2017, indikasi mengenai munculnya politik dinasti kembali mengemuka.
Ketua Pemuda PP Muhammadiyah Dahnil Azhar Simanjutak mengatakan, dinasti politik kerap terjadi di Indonesia karena masih melekatnya kultur feodal dalam masyarakat Indonesia.
Menurut Dahnil, kultur masyarakat masih menjadikan figur petahana dan keturunannya sebagai simbol pemimpin yang sangat dihormati.
"Dinasti politik hadir karena adanya simbolisasi kebudayaan yang kuat dalam masyarakat," ujar Dahnil dalam Diskusi Berseri Madrasah Antikorupsi di Jakarta, Senin (19/9/2016).
Padahal, kata Dahnil, dinasti politik erat kaitannya dengan praktik korupsi. Dia mencontohkan ditangkapnya Ratu Atut Chosiyah ketika menjadi gubernur Banten karena kasus korupsi.
Namun, masyarakat seakan tak masalah dengan kasus korupsi yang melibatkan Atut.
Sebab, keluarga dan kerabat Atut tetap dihormati masyarakat di delapan kabupaten/kota, baik sebagai eksekutif maupun legislatif, sehingga dinasti politik di Banten tetap kuat.
"Ini terjadi karena masyarakat tingkat toleransinya tinggi terhadap praktik korupsi," kata Dahnil.
Untuk itu, kata Dahnil, penting mengubah cara pikir kebudayaan ini dalam masyarakat. Langkah tersebut dilakukan dengan mendorong gerakan kebudayaan antikorupsi.
Dengan mendorong kebudayaan antikorupsi, tambah Dahnil, dinasti politik yang sarat kepentingan bisa dikikis dan diwaspadai.
"Kami berusaha mendorong gerakan kebudayaan masif karena dorongan penegakan hukum positif tidak efektif. Tidak bisa dikerjakan satu, dua, tiga tahun, tapi berkepanjangan," ujar Dahnil.