"Tuntutan itu kan boleh-boleh saja. Kalau mau judicial review di MK ya monggo-monggo saja. Tetapi yang jelas, UU Tapera telah diundangkan," kata Pramono, di kantornya, Jakarta, Jumat (26/2/2016).
Pramono menuturkan, UU Tapera diharapkan memudahkan masyarakat kelas bawah untuk memenuhi kebutuhan hunian yang layak. Meski pada bagian lain juga disadari UU Tapera akan menuai protes dari kalangan pengusaha.
"Bahwa ada protes, tidak semua aturan itu bisa memuaskan semua orang," ucap Pramono.
(Baca: Lima Catatan Penting tentang UU Tabungan Perumahan Rakyat)
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sudah bulat akan menggugat UU Tapera ke Mahkamah Konstitusi. Menurut Ketua Apindo Haryadi Sukamdani, pihaknya akan mengajak serikat pekerja menindaklanjuti rencana gugatan tersebut. Bukan tak mungkin, pengusaha dan serikat pekerja bersama-sama menggugat UU Tepara.
"Tidak menutup kemungkinan kita gugat bersama," ujar Haryadi kepada Kompas.com, Jakarta, Rabu (24/2/2016).
Menanggapi ajakan itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, sejak awal buruh dan pengusaha memang tidak banyak dilibatkan dalam pembahasan UU Tapera.
(Baca: Pungut Iuran dari Karyawan Swasta, UU Tapera Terus Picu Gelombang Kritik)
Apindo menolak keras UU Tapera karena dianggap duplikasi BPJS Ketenagakerjaan. Padahal di dalam BPJS, pengusaha dan pekerja sudah membayar iuran Jaminan Hari Tua (JHT) masing-masing 3,7 persen dan 2 persen.
Bahkan, Apindo menyebut UU Tapera sebagai pemalakan sebab dana yang nanti dibayarkan hanya bisa diambil ketika pensiun. Sementara JHT bisa diambil 30 persen dalam waktu 10 tahun.
Sedangkan Serikat Pekerja, meski secara konsep mendukung UU Tapera, namun menentang karena keanggotaan Tapera hanya untuk pekerja berpenghasilan menilai Rp 4 juta.
Sementara pekerja yang gajinya di bawah Rp 4 juta tak bisa mengikuti program tersebut. Lantaran hal itu, serikat pekerja menyebut UU Tapera karena hanya menguntungkan para pengembang.