"Jadi kalau bicara soal asas dan prinsip saja sudah tercederai. Karena adanya pengakuan kepala suku sebagai representasi pemilih. Jadi bukan demokrasi langsung, tapi demokrasi keterwakilan" kata Titi di Media Center Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (19/11/2015).
Titi menambahkan, sistem noken secara khusus juga memengaruhi tahapan pendaftaran pemilih yang sering kali menjadi masalah.
Hal tersebut ditandai dengan fenomena jumlah perolehan suara yang kerap tercatat dalam perhitungan angka bulat untuk pasangan calon tertentu.
Selain itu, Panitia Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) diduga cenderung hanya mengandalkan informasi dari kepala suku untuk mengidentifikasi jumlah pemilih tanpa melakukan verifikasi yang cermat.
Titi mencontohkan, kasus di Kabupaten Nduga yang pada pemlihan legislatif 2014, terjadi penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (DPT), secara signifikan dari 50.000 menjadi 150.000.
Bahkan, dikatakan bahwa Komnas HAM juga, melaporkan banyak terjadi penggelembungan suara di Pileg 2009 akibat proses pendaftaran pemilih yang kurang cermat dan verifikasi yang tidak aktual.
"Dari satu sisi, situasi ini tidak dapat dibenarkan karena menyangkut integritas proses dan hasil pemilu," ujar Titi.
Titi menyarankan, KPU perlu memastikan proses pendaftaran pemilih dengan benar dan melakukan inovasi khusus guna memastikan akurasi DPT di Papua.
Ia menilai, selama ini verifikasi faktual yang dipraktikkan di Papua masih meragukan, terutama terkait munculnya pembulatan angka-angka pada jumlah DPT di distrik.
Hal tersebut, menurut Titi, diakibatkan banyaknya distrik yang masih sulit diakses dengan transportasi normal dan kendala cuaca.
"Perhatian terhadap persoalan ini penting, karena kasus penggelembungan DPT juga sering menjadi sebab konflik," ungkap Titi.