Oleh: Mochtar Pabottingi
JAKARTA, KOMPAS - Kala para leluhur, pelopor, dan martir-syuhada bangsa memperjuangkan kemerdekaan, inti perjuangan tersimpul dalam satu kata: keutamaan. Ini bersifat multidimensional dan lebur satu sama lain: harkat individu-kolektivitas, napas iman, serta kecintaan kepada Tanah Air, tradisi, dan kebudayaan. Merangkum semua kesadaran politik modern yang menjunjung keadilan dan kebenaran, mengangkat setiap individu-kelompok ke posisi politik terhormat.
Kemerdekaan kita mustahil dipahami di luar konteks penjajahan. Kebangkitan nasional tak lain dari geliat kesadaran kolektivitas politik bangsa Indonesia akan hak-hak dasarnya yang berabad dirampas, termasuk kesadaran tentang bagaimana mengelola negara-bangsa. Di situlah kemerdekaan bertumpu dan menuju.
Keutamaan jadinya bermuara pada sehimpunan prinsip politik komprehensif dalam posisi dialektis dengan titik perkembangan sejarah bangsa kita pada puncak kolonialisme di paruh abad ke-20.
Penjajahan yang kita alami, berupa himpunan laku nista sistemik, seperti pemerasan, penindasan, dan dehumanisasi, adalah demi ekstraksi ekonomi-politik kolonial yang berskala masif. Sirnanya "a center of gravity" bumiputra di Nusantara—sejak ujung abad ke-16 dan selama sekitar 350 tahun—berganti dengan muslihat praktis yang mengeksploitasi seluruh rakyat dan Tanah Air kita dalam bentuknya yang paling kasar dan mentah.
Kezaliman kolonial
Dalam penjajahan, leluhur kita banyak diperlakukan bak binatang. Karl Marx menyebut praktik ini sebagai "a primitive accumulation". Jan Pieterszoon Coen (1587-1629) membela kezaliman kolonialnya dengan menyatakan, "Tak bolehkah seorang Eropa memperlakukan ternaknya sesukanya?" Hingga abad ke-20, "honden" dan "inlander" disamakan.
Pemahaman kemerdekaan sebagai perayaan sehimpunan keutamaan politik niscaya harus selalu dikaitkan dengan pesan sentral pidato pembelaan Bung Hatta (Indonesie Vrij, 1928) dan Bung Karno (Indonesia Menggoegat, 1930) serta refleksi Bung Sjahrir (Renungan Indonesia, 1951). Jika Bung Hatta dan Bung Karno menegaskan historisitas antitesis kemerdekaan dengan penjajahan, Bung Sjahrir memurnikan antitesis tersebut dengan renungan kritis nasionalismenya yang terkenal.
Pancasila adalah penyimpul segenap prinsip antitesis yang diutarakan. Sebagai kristalisasi-sublimasi dialektis dari alam penjajahan, Pancasila berfungsi sebagai perumus himpunan prinsip keutamaan politik, sekaligus tumpuan bagi suatu koreksi radikal terhadap realitas penjajahan beserta kemungkinan repetisinya dalam aneka bentuk.
Kita tahu, sebagian dari praktik ekonomi-politik Orde Baru adalah copy paste dari praktik Hindia Belanda. Parlemen Orde Baru, misalnya, adalah substitusi Volksraad. Begitu pula rantai panjang laku teror terhadap rakyat serta kebijakan-kebijakan di bidang pers dan bahan-bahan makanan pokok. L'histoire se repete!