Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revisi UU Pilkada dan Parpol Dicurigai untuk Gagalkan Pilkada Serentak

Kompas.com - 14/05/2015, 08:44 WIB
Icha Rastika

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dan UU Partai Politik dicurigai sebagai upaya untuk menggagalkan pilkada serentak yang rencananya digelar pada Desember tahun ini. Revisi ini dinilai akan menghambat pelaksanaan pilkada serentak yang rangkaiannya dimulai Juni mendatang.

Pada Juni nanti, Komisi Pemilihan Umum dijadwalkan membuka pendaftaran calon kepala daerah oleh partai politik. "Saya agak curiga revisi UU Pilkada adalah bagian untuk gagalkan pilkada serentak, kalau sesuai jadwal, Juni sudah berjalan. Karena lama-lama ini diundur lagi jadi Juli karena enggak ada kepastian di DPR," kata Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jerry Sumampouw di Jakarta, Rabu (13/5/2015).

Menurut Jerry, keputusan DPR yang membuat panitia kerja revisi dua undang-undang tersebut akan menjadikan persoalan lebih panjang. Apalagi jika ada anggota fraksi yang tidak memahami isu pilkada namun ditempatkan sebagai anggota panja.

"Lalu prosesnya akan lama, lalu muncul rekomendasi panja, partai yang ikut sesuai pengadilan terakhir yang tidak sesuai dengan undang-undang. Betapa pun salahnya SK Kemenkumham, tapi yang harus diacu sebagai kepengurusan yang sah adalah SK Kemenkumham meskipun salah, sejauh belum ada yang gugat dan batalkan putusan ini," tutur dia.

Tak hanya sampai disitu, revisi undang-undang juga memerlukan persetujuan pemerintah. Jerry ragu pemerintah akan menyetujui revisi UU yang disinyalir mengakomodasi kepentingan satu kubu partai politik tersebut.

"Usulan revisi akan mbuat pilkada serentak gagal karena tidak ada kepastian regulasi, kelihatannya DPR agak enggan bahas ini karena KPU lebih ikuti undang-undang ketimbang DPR," sambung Jerry.

Sebelumnya, KPU telah menyetujui draf peraturan KPU mengenai parpol yang bersengketa. KPU memberikan syarat untuk parpol yang bersengketa di pengadilan harus sudah memiliki kekuatan hukum tetap atau sudah islah sebelum pendaftaran pilkada. 

Pada rapat antara pimpinan DPR, Komisi II DPR, KPU, dan Kemendagri, Senin (4/5/2015) lalu, DPR meminta KPU untuk menyertakan putusan sementara pengadilan sebagai syarat untuk mengikuti pilkada. (Baca: PDI-P Tolak Revisi UU Jika untuk Layani Golkar-PPP yang Berkelahi)

Namun, KPU menolak karena tidak ada payung hukum yang mengatur hal itu. Akhirnya, DPR sepakat untuk merevisi UU Parpol dan UU Pilkada untuk menciptakan payung hukum baru.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com