Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demokrasi dan Partai Politik

Kompas.com - 10/04/2015, 15:09 WIB


Oleh: Ignas Kleden

JAKARTA, KOMPAS - Sudah bukan rahasia lagi bahwa di mata banyak pengamat asing, demokrasi Indonesia saat ini berada dalam tahap perkembangan yang positif dan layak diapresiasi. Pendapat ini merujuk beberapa realitas politik seperti pelaksanaan pemilu yang demikian banyak pada tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan akhirnya pada tingkat nasional, yang berlangsung relatif aman dan terkendali, tanpa menimbulkan gejolak atau kekerasan dan tidak membawa kekacauan.

Dalam pada itu, pers Indonesia relatif bebas dan tidak mengalami kekangan atau hambatan politik sebagaimana yang dapat dilihat pada beberapa negara tetangga. Kebebasan berpendapat dan berkumpul dijamin, sementara pemerintahan sepenuhnya berada di tangan sipil tanpa direcoki intervensi militer. Ada beberapa aksi teroris yang muncul secara sporadis di sana-sini, tetapi keamanan umum tetap terjaga dan stabilitas politik tidak terganggu. Secara rata-rata pendapat pengamat dan analis asing lebih optimistis dibandingkan dengan opini dan kritik pengamat dalam negeri yang setiap saat mempertanyakan pelaksanaan demokrasi.

Inkonsistensi politik

Salah satu pertanyaan yang perlu mendapat perhatian ialah hubungan di antara partai-partai politik dan perkembangan demokrasi. Semua kita tahu bahwa dalam demokrasi tak langsung yang diterapkan di hampir semua negara modern, termasuk Indonesia, partai politik jadi pilar utama dan terpenting bagi terlaksananya demokrasi perwakilan. Rakyat tak dapat memerintah secara langsung seperti di Athena pada abad ke-5 sebelum Masehi. Untuk memungkinkan terlaksananya pemerintahan, rakyat harus memercayakan hak-hak politiknya kepada para wakilnya di DPR, sementara para wakil rakyat ini direkrut melalui partai-partai politik yang ada dan memenuhi syarat untuk dipilih.

Di sini muncul pertanyaan yang memperlihatkan suatu inkonsistensi politik. Kalau benar pendapat para pengamat asing bahwa demokrasi Indonesia mengalami perkembangan positif, mengapa gerangan partai-partai politik yang menjadi pendukung utama demokrasi tidak bisa dikatakan berada dalam perkembangan yang positif juga? Mengapa demokrasi dalam sistem politik Indonesia tidak diimbangi hidupnya internal demokrasi dalam kalangan partai politik? Mengapa stabilitas politik dalam demokrasi Indonesia tidak diimbangi dengan stabilitas politik dalam partai politik yang cenderung mengalami perpecahan ke dalam (internal fractioning) sebagaimana terjadi pada Golkar dan PPP saat ini? Dalam politik nasional seorang presiden dan wakil presiden dapat dipilih secara bebas, sementara partai-partai politik besar, seperti PDI-P atau Demokrat, masih berdebat tentang perlu tidaknya ada calon tunggal ketua umum di kongres partai mereka.

Diskrepansi ini selayaknya jadi perhatian partai-partai politik dalam kaitan dengan peran mereka sebagai pilar utama demokrasi tak langsung. Kita berhadapan dengan kemungkinan munculnya dua pertanyaan. Pertama, bagaimana menjelaskan demokrasi Indonesia dapat stabil, sementara partai-partai politik yang jadi soko gurunya tidak memperlihatkan stabilitas politik dalam dirinya? Dari mana integrasi politik nasional diperoleh, sementara partai-partai politik selalu diancam disintegrasi politik? Mengapa kebebasan memilih dapat terjamin dan terlaksana dengan baik dalam politik nasional, sementara kebebasan memilih dalam partai-partai politik relatif terkekang?

Kedua, jangan-jangan kita harus mengubah pendapat bahwa partai politik yang de jure merupakan pilar demokrasi, de facto tidak ada sumbangannya terhadap demokrasi Indonesia. Secara lebih tajam, partai-partai politik di Indonesia tidak ada peranannya dalam produksi demokrasi di Indonesia, tetapi hanya jadi konsumen utama demokrasi yang diproduksi oleh kekuatan-kekuatan sosial lainnya, seperti media, kelompok masyarakat sipil, gerakan mahasiswa dan kalangan akademisi, gerakan buruh dan nelayan, gerakan kaum perempuan dan berbagai kelompok penekan yang muncul silih berganti dalam perkembangan politik.

Dalam kilas balik asumsi ini dapat diuji dengan dua pengalaman politik. Pertama, dengan adanya Dekrit Presiden pada Juli 1959, hampir semua kekuasaan politik jadi terpusat pada diri Presiden Soekarno yang melansir sistem Demokrasi Terpimpin setelah Konstituante dibubarkan dan UUD 1945 diberlakukan kembali. Trias Politika praktis dibekukan karena Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi beranggapan: tata negara dengan pembagian kekuasaan ke dalam eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak sesuai dengan tujuan revolusi yang menghendaki perubahan cepat dengan cara "menjebol dan membangun" (sic). Perkembangan ini jelas menggelisahkan kaum demokrat seperti Mohamad Hatta yang menulis risalah kritis Demokrasi Kita, untuk menguraikan secara terbuka penyelewengan asas demokrasi melalui sistem Demokrasi Terpimpin ala Bung Karno.

Keadaan jadi tambah panas dan meruncing karena PKI dapat membonceng kekuasaan Soekarno dan menimbulkan kekhawatiran terhadap dominasi politik kiri yang akhirnya mengancam demokrasi. Kecemasan ini muncul terutama di kalangan kelompok agama, khususnya Islam, dan menimbulkan rasa waswas di kalangan militer. Dengan meletusnya Peristiwa 30 September 1965, mulai terjadi kristalisasi politik antara pro-demokrasi dan pro-Demokrasi Terpimpin. Presiden Soekarno dengan berbagai cara mengalami political containment atau pengurungan politik dan kekuasaan politik beralih ke tangan Jenderal Soeharto, yang kemudian diresmikan jadi Presiden RI.

Faktor obyektif lain yang mendorong jatuhnya Soekarno ialah kebangkrutan ekonomi dengan inflasi yang melampaui 600 persen. Dengan situasi yang demikian, Orde Baru praktis dibangun oleh tiga kekuatan utama: mahasiswa yang tak bisa lagi menerima politik yang semakin otokratis; militer yang menjadi kekuatan yang melumpuhkan politik kiri PKI; dan para teknokrat yang harus memulihkan ekonomi yang amat merosot. Dalam perubahan politik ini, sukar mencatat peranan berarti partai-partai politik dalam mendorong perubahan politik ke arah yang lebih demokratis.

Kedua, reformasi politik 1998 menghentikan politik yang otoriter dari Presiden Soeharto. Ketidakpuasan umum saat itu merupakan akumulasi dari akibat beberapa praktik politik. Dari segi ideologis, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat mengenai ideologi negara semakin hari makin terkekang karena adanya keharusan mengikuti interpretasi tunggal versi rezim Soeharto tentang Pancasila. Interpretasi tunggal ini disosialisasikan dengan biaya negara yang tidak kecil melalui kursus Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) pada berbagai tingkat dalam birokrasi pemerintahan, serta bahkan menjadi prasyarat bagi kenaikan pangkat dalam jenjang birokrasi.

Dari segi pemerintahan, makin meluas rasa cemas bahwa kesempatan melaksanakan pemerintahan sipil yang diamanatkan oleh sistem demokrasi punya prospek suram karena meluasnya intervensi militer dalam pemerintahan melalui dwifungsi ABRI. Di satu pihak kalangan TNI tetap hidup dengan keyakinan bahwa mereka bertumbuh bukan sebagai tentara profesional, melainkan sebagai tentara pejuang yang bertempur bersama rakyat, hidup bersama rakyat dan bahkan dilindungi oleh rakyat dalam perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

Di pihak lain kalangan terpelajar, khususnya para mahasiswa, sangat sadar militer adalah alat negara sehingga suatu pemerintahan dengan banyak intervensi militer pada dasarnya bukanlah government by the people, yaitu pemerintahan oleh rakyat, tetapi government by the state, yaitu pemerintahan oleh negara. Sementara itu, partai politik dalam bentuk multipartai mengalami penyederhanaan yang drastis. Pada Januari 1973, lima partai yang berhaluan nasionalis mengalami fusi menjadi satu partai dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Demikian juga empat partai politik dengan asas Islam mengalami fusi menjadi satu partai saja dalam PPP.

Penyederhanaan partai jelas memudahkan kontrol oleh pemerintah. Bersama Golkar yang dianggap bukan partai politik, melainkan merupakan Golongan Karya, tetapi mempunyai semua hak partai politik, rezim Presiden Soeharto hanya perlu mengawasi dua partai politik, sambil mendesakkan kemenangan Golkar dalam tiap pemilu. Pegawai negeri diharuskan menjadi anggota Golkar dengan alasan monoloyalitas, sementara suara untuk Golkar dari tiap institusi pemerintah dan lembaga negara diawasi secara ketat. Lembaga pengawasan resmi seperti DPR dibuat tak berdaya di bawah kontrol eksekutif. Pers diawasi dengan ketat dan tiap telepon dari pejabat ke redaksi koran/majalah berita jadi alarm bahwa penerbitan koran dan majalah itu dapat berakhir dengan ditariknya surat izin usaha penerbitan pers oleh Kementerian Penerangan.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Nasional
Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Nasional
Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Nasional
Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Nasional
Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Nasional
Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Nasional
Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Nasional
Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Nasional
Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang 'Toxic'

Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang "Toxic"

Nasional
Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Projo: Nasihat Bagus

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Projo: Nasihat Bagus

Nasional
Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Nasional
Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com