Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bantah Berita Media Australia, Kemenlu Sebut Tak Ada Moratorium Hukuman Mati

Kompas.com - 06/03/2015, 10:47 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com — Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Arrmanatha Nasir menyatakan bahwa Indonesia sampai saat ini tidak memberlakukan moratorium hukuman mati. Hal itu disampaikan untuk membantah laporan media Australia yang menyatakan hal sebaliknya.

"Itu (berita tentang moratorium hukuman mati di Indonesia) adalah suatu kesalahan berita media yang ada di Australia. Jadi, itu adalah kesalahan pengutipan yang diambil dan diberitakan oleh media di Australia," kata Arrmanatha saat ditemui di Kementerian Luar Negeri di Jakarta, Jumat (6/3/2015), seperti dikutip Antara.

Dia mengungkapkan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan duta besar dan delegasi Indonesia yang berpartisipasi dalam pembahasan soal hukuman mati di forum PBB di Geneva. Informasi yang diterima adalah tidak ada delegasi Indonesia yang mengatakan Indonesia sedang memberlakukan moratorium hukuman mati.

"Kami sudah koordinasi, baik dengan Dirjen Multilateral di Kemenlu maupun Duta Besar kita yang ada di Geneva. Statement (pernyataan) yang disampaikan delegasi Indonesia tidak menyebutkan hal itu (tentang moratorium hukuman mati)," ujar Arrmanatha.

Menurut Direktur Jenderal Kemenlu RI Abi Hasan Kleib, terdapat kesalahan dalam laporan atau rangkuman hasil pembahasan soal hukuman mati di forum PBB, yang dilakukan oleh Sekretariat PBB.

"Saya sudah cek di Geneva dan ternyata ada kesalahan Sekretariat PBB waktu membuat summary (rangkuman) diskusi dan itu mungkin yang dikutip oleh Sydney Morning Herald (media Australia). Kami sudah menegur (pihak Sekretariat PBB) dan direvisi. Seharusnya tidak ada kata moratorium waktu bilang reinforced death penalty," ungkap Abi.

Sebelumnya, Wakil Tetap RI untuk PBB di New York, Amerika Serikat, Desra Percaya, menegaskan bahwa hukuman mati bukan standar universal di bidang HAM. Dia juga menyatakan hukuman mati di Indonesia tidak bertentangan dengan HAM.

"Hukuman mati di Indonesia tidak bertentangan dengan HAM dan hukum internasional," ujar Desra Percaya.

Dubes Desra menjelaskan bahwa larangan hukuman mati bukan merupakan standar universal di bidang HAM dan pembahasan di forum PBB juga masih berlangsung dan belum dicapai konsensus.

"Setiap negara memiliki tantangan yang khas. Penerapan hukuman ini merupakan respons pemerintah terhadap tantangan unik di Indonesia dan merupakan bagian dari pelaksanaan kedaulatan," ujar dia.

Pemerintah Australia terus mendorong Pemerintah Indonesia untuk membatalkan eksekusi mati terhadap dua warga Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Eksekusi mati akan dilakukan dalam waktu dekat. (Baca: Australia Tawarkan "Barter" Terpidana demi Batalkan Hukuman Mati 2 Warganya)

Terakhir, Australia menawarkan untuk merepatriasi tiga warga Indonesia terpidana kasus narkoba dari Australia demi membatalkan pelaksanaan eksekusi terpidana mati "Bali Nine". Namun, Pemerintah Indonesia tidak menerima tawaran tersebut. (Baca: Jokowi Tolak Permintaan "Barter" Terpidana Mati yang Diajukan Australia)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com