Oleh: Didit Putra Erlangga Rahardjo

KOMPAS.com - Setelah menghilang selama tiga hari, pesawat AirAsia QZ 8501 akhirnya ditemukan tim pencari. Namun, baik para kerabat maupun masyarakat harus menerima kenyataan bahwa pesawat tersebut diduga tidak dalam keadaan utuh, dan yang paling menyesakkan adalah 40 lebih penumpang ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa.

Di satu sisi, pujian berdatangan dari berbagai pihak kepada tim pencari, Badan SAR Nasional, dan Pemerintah Indonesia karena mampu melancarkan operasi pencarian yang akuntabel, cepat, dan memberikan kepastian kepada kerabat korban. Pujian juga dialamatkan kepada maskapai AirAsia karena komitmennya untuk menjamin hak penumpang.

Akun @melaniesubono, misalnya, meminta para pengguna media sosial untuk mendoakan Pasukan Katak yang menyelam hingga kedalaman 30 meter untuk mencari korban dan reruntuhan pesawat, tim SAR, para dokter, dan seluruh pihak yang sudah bekerja untuk menemukan pesawat QZ 8501 hingga hari ini.

Sama halnya dengan akun @ReneCC yang mengunggah foto dari Reuters yang memperlihatkan petugas pencari yang berdoa di depan pesawat di Pangkal Pinang.

Apa yg diperlihatkan Jokowi, Pak JK—menularkan semangat bergandengan tangan, turun langsung menangani persoalan. Negara hadir....” tulis akun @mantriss.

Sayangnya, prestasi tersebut tercoreng dengan praktik jurnalistik yang dilakukan televisi swasta tertentu yang menyiarkan secara langsung jenazah korban yang mengapung di laut sewaktu pertama kali ditemukan. Tanpa sensor, gambar tersebut ditayangkan dan diikuti gambar reaksi kerabat korban yang menunggu di Pusat Krisis Bandara Internasional Juanda, Surabaya, Jawa Timur.

Tak ayal, hal tersebut mengundang amarah dari berbagai pihak. Beberapa media asing pun mengangkat hal tersebut, misalnya Time, yang menyorot keluarga korban yang histeris gara-gara penggunaan gambar tersebut, begitu pula The Guardian yang menggambarkan para kerabat menerima kepastian mengenai nasib keluarga mereka dengan cara yang brutal.

Salah satu kritik datang dari akun @Joko_Kemukus yang meminta agar staf redaksi hingga jajaran pimpinan stasiun televisi tersebut dibina soal etika dan norma-norma jurnalistik. Bila hal serupa terus terulang, berarti memang ada yang salah.

”Terkadang kecepatan berita tak sanggup membendung nafsu untuk menjaga etika dalam pemberitaan. #QZ8501,” tulis akun @cakimamsuwandi.

Inilah fenomena ”bencana jurnalisme” yang pernah dikemukakan Ahmad Arif melalui buku Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme; Kesaksian dari Tanah Bencana, sewaktu media massa justru mendramatisasi kengerian, isak tangis, dan darah dalam sebuah peliputan kebencanaan atau musibah. Seharusnya, fungsi jurnalisme mengangkat informasi yang lebih penting atau mendasar, seperti hak-hak korban atau pelajaran agar peristiwa serupa tidak lagi terulang di masa mendatang.