Oleh: Luky Djani
KOMPAS.com - Peribahasa karena nila setitik rusak susu sebelanga sudah sangat lazim terjadi dalam konteks korupsi pada lembaga/institusi publik di negara ini.
Contoh mutakhir menimpa lembaga kredibel dan berwibawa, Mahkamah Konstitusi (MK). Akibat perbuatan seorang Akil Mochtar, yang kemudian diganjar hukuman penjara seumur hidup, MK pun (sempat) menjadi "rusak sebelanga".
Anekdot yang kerap dilontarkan pada institusi publik adalah ”berkarakter spanyol” alias separuh nyolong, artinya nilanya bukan lagi setitik, melainkan minimal sudah setengah belanga.
Muncul setitik susu
Di tengah paceklik lembaga publik yang berintegritas, imparsial, berorientasi pelayanan, dan profesional muncul setitik ”susu” di ladang nila sebelanga.
Di antara susu tersebut ada Basuki Tjahaja Purnama yang akrab dipanggil Ahok, Wakil Gubernur DKI Jakarta, atau Nur Pamudji, Direktur Utama PLN yang berupaya keras memperbaiki nila sebelanga.
Pak Ahok sering terlibat ”perang” dengan jajaran birokrasi demi meluruskan yang telanjur bengkok. Pak Nur memilih cara yang lebih kalem dalam membersihkan BUMN dengan aset terbesar di negara ini.
Bagaimana susu setitik bisa mengubah nila sebelanga? Dalam konteks reformasi lembaga publik, membenahi birokrasi yang nyaris selalu survive dalam mempertahankan langgam, karakter, dan etos, walau zaman dan rezim telah berganti, tentu bukanlah hal yang sepele.
Birokrasi lembaga publik di Indonesia merupakan kelanjutan dari pangreh praja dan pamong praja dengan ciri patrimonial yang kental. Lantas, mungkinkah hanya setitik susu bisa memperbaikinya?
Serum
Dalam literatur akademik ataupun policy paper para donor, istilah "champion" kerap didengungkan. Kehadiran seorang champion menjadi prasyarat bagi keberhasilan program reformasi tata kelola pemerintahan. Political will dari pemimpin menjadi prasyarat utama bagi keberhasilan inisiatif perubahan. Adanya keinginan kuat dari pimpinan suatu lembaga menggaransi keberpihakan dari otoritas kepemimpinan lembaga untuk menggulirkan perubahan. Champion ini menjadi panglima reformasi tata kelola pemerintahan.
Pengultusan pada champion atau prasyarat political will dalam mendorong perubahan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Sisi positifnya, ada jaminan dari pimpinan tertinggi suatu lembaga publik atau pemerintah (pusat dan daerah) untuk melakukan perubahan.
Instruksi pimpinan kepada bawahannya agar bertindak dan menjalankan tugas berdasarkan prinsip profesionalitas dan integritas dipandang penting. Hal ini merupakan turunan dari pemahaman bahwa bureaucratic polity (Jackson, 1978; McVey, 1982) memiliki karakter paternalistik dan otoriter (King, 1982) sehingga jika pimpinannya adalah ”orang baik”, ia akan membawa lembaga publik (birokrasi) menjadi baik pula.
Pimpinan suatu lembaga kerap dipersonifikasi sebagai ”Bapak”, di mana bawahan dan rakyat adalah ”anak”; Seorang bapak akan ngemong (pamong) anak (bawahan atau rakyat).