Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ilmu dan Politik di Hitung Cepat

Kompas.com - 21/07/2014, 14:46 WIB


Oleh: Ignas Kleden

KOMPAS.com - Hitung cepat sudah menjadi suatu praktik penelitian sosial-politik, yang diperkenalkan oleh LP3ES sejak Pemilihan Presiden Indonesia 2004. Sejak saat itu praktik ini sudah meluas dan diterapkan oleh lembaga penelitian lainnya dalam pemilihan presiden, gubernur, dan pemilihan lain, tanpa menimbulkan kontroversi. Sebab, hasil hitung cepat dan hasil hitungan manual oleh panitia pemilihan tidak banyak bedanya.

Kontroversi muncul pertama kali dalam Pemilihan Presiden 2014 karena adanya dua kelompok lembaga penelitian yang mengumumkan hasil hitung cepat berbeda. Perbedaan hasil ini kemudian mendapat amplifikasi politis yang luas karena kelompok yang satu menunjukkan keunggulan perolehan suara bagi pasangan Jokowi-Jusuf Kalla, sedangkan kelompok lain memperlihatkan keunggulan pasangan Prabowo-Hatta dalam perolehan suara mereka.

Dampak politis dari perbedaan hasil hitung cepat dua kelompok lembaga penelitian ini sudah dibahas oleh beberapa penulis lain. Tulisan ini akan difokuskan pada dampak ilmiah dari kontroversi itu dan bagaimana kontroversi itu seyogianya diselesaikan menurut konvensi yang berlaku dalam komunitas akademis.

Legitimasi ilmiah

Dalam arti tertentu seseorang menjadi ilmuwan karena dia diterima dan diakui dalam suatu komunitas dari rekan-rekan yang bekerja dalam bidang ilmu yang sama. Legitimasi seorang ilmuwan tidak diberikan oleh khalayak ramai, tetapi oleh rekan-rekan sejawatnya berdasarkan pencapaian dalam bidang ilmu yang digeluti.

Dalam istilah sosiologi-pengetahuan, legitimasi seorang ilmuwan bukanlah legitimacy by the people (seperti halnya seorang politikus), melainkan legitimacy by peers, yaitu legitimasi yang diberikan oleh rekan-rekan sejawat. Kalau seorang dokter atau peneliti di laboratorium medis sekali kelak menemukan obat untuk penyakit kanker atau HIV-AIDS, keabsahan temuan obat itu akan diuji dan ditetapkan oleh rekan-rekan dokter atau para peneliti di laboratorium medis, dan bukan oleh besar kecilnya dukungan khalayak ramai atau massa yang dikerahkan untuk memaksakan penerimaan terhadap temuan tersebut. Pada titik inilah terletak perbedaan hakiki antara legitimasi politik dan legitimasi ilmiah.

Dalam praktik politik, presiden, gubernur, bupati, atau wali kota mendapat mandat melalui suara terbanyak yang memilih dia. Ukuran legitimasi dalam politik adalah besar-kecilnya dukungan rakyat melalui suara yang diberikan dalam pemilihan, di mana para pemilih tidak harus mengemukakan alasan bagi pilihan yang dilakukannya. Sebaliknya, legitimasi suatu temuan ilmiah atau pendapat ilmiah tidak ditetapkan berdasarkan besar-kecilnya dukungan dari anggota masyarakat, tetapi berdasarkan apakah temuan atau pendapat itu dapat dipertahankan dengan argumen dan bukti-bukti terbaik yang meyakinkan anggota komunitas akademis atau komunitas profesional.

Jadi, sekalipun temuan atau pendapat itu dipertahankan oleh beberapa orang saja, bahkan hanya oleh satu orang, keabsahan ilmiah layak diberikan. Ketika Albert Einstein mengumumkan teori relativitasnya, dia tidak mengerahkan jumlah besar ahli fisika untuk mendukung teori baru tersebut, tetapi membuktikan validnya teori itu melalui perhitungan matematis, yang kemudian diterima dan diakui oleh ahli-ahli fisika lainnya. Filsuf Jerman, Juergen Habermas, menulis bahwa hal yang menentukan dalam duskursus ilmiah adalah the criterion of the better argument, yaitu argumen yang lebih baik, yang harus diperlakukan sebagai kriterium untuk menerima suatu pendapat, konsep, atau teori.

Sampai di sini kita dapat bertanya, apakah quick count atau hitung cepat merupakan suatu praktik politik atau praktik ilmiah? Jawabannya jelas sekali: hitung cepat adalah suatu praktik ilmiah (dalam kelompok ilmu-ilmu sosial) dan bukan suatu praktik politik meskipun apa yang dihasilkan oleh praktik ilmiah ini dapat membawa akibat politik.

Dikatakan praktik ilmiah karena hakikat hitung cepat bukanlah untuk memperoleh kekuasaan (yang menjadi tujuan setiap tindakan politik), melainkan memperoleh keterangan tentang suatu realitas sosial dan politik seperti perolehan suara dalam pemilihan. Yang dicari adalah pengetahuan, bukan kekuasaan. Bahwa keterangan, informasi, dan pengetahuan yang dihasilkan oleh hitung cepat dapat dimanfaatkan secara politik, ini soal lain yang masuk dalam bidang pemanfaatan pengetahuan dan informasi atau the use of knowledge. Tugas hitung cepat, seperti tugas semua penelitian ilmiah lainnya, adalah menghasilkan pengetahuan atau the production of knowledge.

Dalam kerja memproduksi pengetahuan, seorang ilmuwan atau peneliti mengusahakan lahirnya pengetahuan baru berupa temuan dan hasil penelitian. Akan tetapi, ilmu pengetahuan mempersyaratkan juga bahwa pengetahuan baru yang dihasilkan bukan merupakan pengetahuan yang diperoleh secara untung-untungan—berdasarkan tebakan atau karena kebetulan—melainkan melalui suatu proses yang bisa ditelusuri tahapan-tahapannya. Inilah sebabnya, prosedur yang ditempuh dalam menghasilkan pengetahuan dianggap sama pentingnya dengan pengetahuan yang dihasilkan. Prosedur ini menjadi penting karena di sini, dalam prosedur ini, anggota komunitas ilmuwan dan peneliti dapat melihat bagaimana pengetahuan baru itu diperoleh, metode dan teknik penelitian mana yang digunakan, dan bagaimana mengetes validitas pengetahuan tersebut.

Sosiolog Amerika, RK Merton, menyatakan bahwa prosedur keilmuan ini merupakan dasar bagi berlakunya asas komunalitas (communality) dalam ilmu pengetahuan, yang mewajibkan setiap temuan ilmiah untuk diumumkan dalam publikasi dan jurnal-jurnal ilmiah, agar para ilmuwan lain menjadi tahu tentang temuan baru itu dan memberikan pendapat mereka tentangnya. Tindakan itu sekalian untuk mengecek seberapa jauh temuan baru itu diperoleh melalui prosedur yang berlaku umum dalam penelitian ilmiah, dan apakah temuan itu benar-benar merupakan hal baru dalam body of knowledge yang ada hingga saat itu.

Dari sinilah muncul slogan publish or perish, yang menyatakan bahwa seorang ilmuwan yang tidak memublikasikan temuan-temuan penelitiannya akan hilang eksistensinya sebagai seorang ilmuwan. Sebab, dia akan menjadi non-faktor yang tidak dibicarakan dalam komunitas akademis dan karyanya tidak pernah dirujuk oleh rekan-rekan ilmuwan lainnya.

Kewajiban ilmiah

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com