Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fenomena “Unfriend”, Capres Jagoan, dan Kampanye Hitam

Kompas.com - 27/06/2014, 06:14 WIB
Sabrina Asril

Penulis


KOMPAS.com – Hubungan antara dua teman yang sudah lama saling mengenal sejak bangku kuliah tiba-tiba saja menjadi panas. Awalnya, dua orang itu, Ali dan Abu, tengah membahas pertarungan dua calon presiden pada Pemilu Presiden 2014. Keduanya mendukung calon yang berbeda. Ali yang sering memposting di Path "meme" calon yang didukung Abu, membuat sang teman tersinggung. Abu tak terima. Ia memutus pertemanan dengan Ali di jejaring sosial itu. Mengetahui hal ini, Ali tertawa dan meminta agar pertemanan kembali dijalin setelah usai pemilu. Anda pernah mengalami hal ini?

Peristiwa ini tak hanya satu atau dua kali terjadi. Tak hanya di Path, tetapi juga di jejaring sosial lain, seperti Facebook dan Twitter. Pemicunya hanya karena mendukung calon presiden yang berbeda.

Pengamat Media Sosial Nukman Luthfie melihat fenomena itu sebagai konsekuensi dari berkembangnya dunia digital, salah satunya media sosial. Jika pada masa lalu, orang berkampanye selalu menggunakan media konvensional seperti televisi, radio, dan surat kabar yang sifatnya hanya satu arah, kini media sosial menjadi alat kampanye yang mulai diperhitungkan. Media sosial memberikan ruang yang luas dengan tidak hanya melibatkan tim sukses tetapi masyarakat secara individu.

“Sehingga dengan adanya media sosial ini, masyarakat lebih terbuka akan pilihannya. Publik ikut bersuara selain tim suksesnya,” kata Nukman kepada Kompas.com, Kamis (27/6/2014).

Awalnya, kata Nukman, lalu lintas diskusi pengguna media sosial di Facebook sangat ramai soal kelebihan dan kekurangan para calon presiden jagoannya. Perbincangan, meski berlangsung hangat, tetapi tidak sampai memicu kebencian. Demikian juga di Twitter. Nukman melihat, hubungan pertemanan masih cukup kuat sehingga tak bisa dikacaukan hanya dengan perbedaan pandangan soal capres.

Namun, Nukman meminta agar para pengguna media sosial waspada. Pasalnya, pihak ketiga belakangan ini kerap memasuki perbincangan antarpertemanan yang akhirnya membuat suasana panas. Pihak ketiga ini, sebut Nukman, adalah pendukung fanatik atau bisa juga pasukan cyber bentukan tim sukses kandidat tertentu yang tujuannya memang untuk mengacau dan menyebarkan fitnah.

“Kalau di Facebook sudah ada kejadian, seseorng pilih Prabowo atau Jokowi, terus ada diskusi antar teman tapi kemudian masuk orang ketiga atau orang keempat yang membuat pembicaraan panas karena dia tidak paham hubungan pertemanan yang sebenarnya. Pihak ketiga inilah yang datang untuk mengobrak-abrik diskusi sehat yang terjadi sebelumnya,” ucap Nukman.

Menurut dia, hal serupa, namun dengan tingkat kekacauan lebih parah terjadi di jagat Twitter. Fenomena “unfollow” di Twitter, kata Nukman, memang tidak marak. Namun, Twitter dijadikan alat untuk memproduksi segala macam isu yang sifatnya fakta sampai fitnah. Di sinilah tempat berkumpulnya, para pendukung fanatik hingga pasukan cyber bayaran kandidat capres tertentu bertarung.

Nukman mencontohkan, sejumlah isu yang diproduksi berawal dari Twitter adalah kasus surat penangguhan penyidikan Jokowi dalam kasus dugaan korupsi bus Transjakarta, penyebaran surat keputusan Dewan Kehormatan Perwira yang menjatuhkan hukuman kepada Prabowo Subianto, dan isu bahwa Jokowi keturunan Tionghoa.

“Sebagian besar terbukti fitnah. Hanya surat DKP Prabowo saja yang masih didebatkan jenderal-jenderal bilang itu asli. Jadi selalu ada pihak ketiga yang mengambil keuntungan dengan menyerbarkan berita fakta dan berita bohong,” katanya.

Yang unik dari karakter di dunia maya, ujar Nukman, adalah pengguna media sosial tidak pernah tahu kondisi yang sebenarnya. Dia menyebut seorang pendukung capres tertentu yang marah-marah dan membuat panas obrolan politik di dunia maya bisa jadi sedang menuliskan kemarahannya dengan tertawa.

“Sehingga pertempuran di media sosial yang berdarah-darah, kalau sudah offline, kita masih damai. Buktinya kampanye-kampanye kan lancar,” ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com