"Sebagai Panglima ABRI saat itu, secara otomatis saya terlibat, bukan sebagai dalang, melainkan sebagai pihak yang tidak melakukan pembiaran. Kalau saya mendalangi penembakan, kerusakan, dan penculikan, pasti negeri ini sudah hancur-hancuran. Tingkat kerusakan pasti tak lagi bisa kita bayangkan," ujar Wiranto dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (19/6/2014).
Menurut dia, kalau penembakan dilakukan atas perintah Panglima TNI, maka korbannya bisa mencapai ratusan. Kerusuhan pun, sebut Wiranto, akan terjadi berlarut-larut seperti yang ada di Thailand, Mesir, dan Suriah.
Wiranto mengaku bahwa dirinya justru yang telah mengusut dan menghukum para pelakunya. "Kerusuhan dalam skala nasional dapat saya netralkan hanya dalam waktu 2 hari," katanya.
Dia menceritakan, pada tanggal 13 Mei 1998, setelah acara penguburan korban penembakan, kerusuhan dimulai. Sehari setelahnya, kerusuhan memuncak, dan pada tanggal 15 Mei 1998 pagi, keadaan sudah dapat dikuasi lagi oleh aparat keamanan.
"Ini terjadi setelah saya mendatangkan pasukan Marinir dan Kostrad dari Jatim ke Jakarta. Untuk kasus penculikan, sudah jelas yang saya lakukan adalah mencegah dengan kebijakan persuasif, dengan dialog, dan komunikatif. Setelah terjadi penembakan, melakukan pengusutan dan menghukum para pelaku penculikan," katanya.
"Tidak adil dan tidak pada tempatnya kalau Panglima dibebani tanggung jawab sebagai dalang penembakan, kerusuhan, dan penculikan," tambah Wiranto.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.