Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

JK Tak Setuju "Bail Out" Century karena Tak Ada Dasar Hukumnya

Kompas.com - 08/05/2014, 16:58 WIB
Dian Maharani

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
- Wakil Presiden RI 2004-2009 Jusuf Kalla tidak setuju adanya pemberian dana talangan atau bail out kepada Bank Century. Langkah yang dilakukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk menyelamatkan Bank Century itu dinilai tidak memiliki dasar hukum.

Hal itu disampaikan oleh JK, sapaannya, saat menjadi saksi kasus Bank Century dengan terdakwa mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (8/5/2014).

"Dasar hukum bail out itu apabila pemerintah menyetujui atau mengeluarkan aturan bahwa semua bank gagal dijamin pemerintah atau blanket guarantee. Aturan itu tidak ada," ujar JK tentang alasan dia tidak setuju dengan bail out Century.

Menurut JK, pemberian dana talangan kepada suatu bank hanya dapat dilakukan jika ada kebijakan penjaminan penuh (blanket guarantee) terhadap perbankan. Saat itu, kata JK, kebijakan yang berlaku bukan blanket guarantee, melainkan penjaminan terbatas maksimal Rp 2 miliar.

JK menjelaskan, blanket guarantee pernah dilakukan pemerintah pada tahun 1998. Namun, penjaminan penuh itu nyatanya sangat merugikan negara sehingga setelah itu blanket guarantee ditiadakan.

"Akibat blanket guarantee itu, terjadi moral hazard di berbagai bank di Indonesia yang menyebabkan Bank Indonesia melakukan BLBI sampai Rp 600 triliun lebih. Akibatnya sampai sekarang, 15 tahun setelah itu kita mesti membayar setiap tahun hampir 1 triliun, bunga dan cicilan," papar JK. Untuk itu, menurut JK, kesulitan bank seharusnya ditangani oleh pemegang saham, bukan negara.

Selain itu, JK mempertanyakan kepada Boediono selaku Gubernur BI saat itu tentang alasan penyertaan modal sementara (PMS) atau dikenal bail out Bank Century. Saat itu, Boediono menjawab PMS dikucurkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) karena uang di Bank Century diambil oleh pemiliknya sendiri yaitu Robert Tantular.

JK mengatakan, Bank Century menjadi bank gagal bukan karena imbas krisis, melainkan salah manajemen dan perampokan oleh pemiliknya sendiri. Hal itu disampaikan oleh Gubernur Bank Indonesia saat itu Boediono dan Menteri Keuangan sekaligus Ketua KSSK saat itu Sri Mulyani ketika melaporkan kepada JK pada 25 November 2008 atau empat hari setelah ada keputusan bail out Century.

"Saya tanya apa yang terjadi. Boediono menjawab bahwa Bank Century telah dirampok oleh pemiliknya sendiri," katanya.

Atas alasan itu, JK menilai bahwa kasus Bank Century adalah perampokan perbankan secara besar-besaran. Hal itu karena Boediono maupun Sri Mulyani tidak menjelaskan kaitan bail out dan krisis ekonomi saat itu.

Jika demikian, kata JK, maka tanggung jawab untuk mengganti kerugian tersebut bukan pada pemerintah, melainkan pemilik Bank Century. Oleh karena itu, setelah mendapat laporan itu, JK langsung memerintahkan Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri menangkap Robert Tantular selaku salah satu pemilik Bank Century.

Namun, kata JK, saat itu Boediono balik bertanya tentang dasar hukum yang bisa dipakai untuk menjerat Robert Tantular, pemilik Bank Century. "Dia (Boediono) tanya, dasar hukumnya apa? Saya katakan 'itu urusan polisi bukan Bapak'," ujanya.

JK juga tidak setuju jika kondisi perbankan pada Oktober-November 2008 dikatakan genting. Menurutnya, saat itu memang ada masalah, seperti kurs melemah, tetapi kondisi perbankan saat itu masih bagus. Ia juga menyatakan bahwa penyaluran kredit masih meningkat dan kredit bermasalah turun.

Budi Mulya didakwa melakukan tindak pidana korupsi terkait pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) senilai Rp 689,39 miliar kepada Bank Century dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 6,7 triliun. Budi Mulya diduga menerima uang Rp 1 miliar dari Robert Tantular selaku pemilik Bank Century.

Atas perbuatannya, Budi Mulya diancam pidana dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi. Ancaman hukuman maksimal dalam pasal ini adalah penjara seumur hidup.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 24 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 24 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Anies Pertimbangkan Maju Pilkada DKI, PKS: Kita Lagi Cari yang Fokus Urus Jakarta

Anies Pertimbangkan Maju Pilkada DKI, PKS: Kita Lagi Cari yang Fokus Urus Jakarta

Nasional
Momen Menarik di WWF Ke-10 di Bali: Jokowi Sambut Puan, Prabowo Dikenalkan sebagai Presiden Terpilih

Momen Menarik di WWF Ke-10 di Bali: Jokowi Sambut Puan, Prabowo Dikenalkan sebagai Presiden Terpilih

Nasional
Perkenalkan Istilah ‘Geo-cybernetics’, Lemhannas: AI Bikin Tantangan Makin Kompleks

Perkenalkan Istilah ‘Geo-cybernetics’, Lemhannas: AI Bikin Tantangan Makin Kompleks

Nasional
Megawati Disebut Lebih Berpeluang Bertemu Prabowo, Pengamat: Jokowi Akan Jadi Masa Lalu

Megawati Disebut Lebih Berpeluang Bertemu Prabowo, Pengamat: Jokowi Akan Jadi Masa Lalu

Nasional
Laporkan Dewas ke Bareskrim, Wakil Ketua KPK Bantah Dirinya Problematik

Laporkan Dewas ke Bareskrim, Wakil Ketua KPK Bantah Dirinya Problematik

Nasional
Kolaborasi Pertamina–Mandalika Racing Series Dukung Pembalap Muda Bersaing di Kancah Internasional

Kolaborasi Pertamina–Mandalika Racing Series Dukung Pembalap Muda Bersaing di Kancah Internasional

Nasional
Harkitnas, Fahira Idris Tekankan Pentingnya Penguasaan Iptek untuk Capai Visi Indonesia Emas 2045

Harkitnas, Fahira Idris Tekankan Pentingnya Penguasaan Iptek untuk Capai Visi Indonesia Emas 2045

Nasional
Sempat Sebut Lettu Eko Meninggal karena Malaria, Dankormar: Untuk Jaga Marwah Keluarga

Sempat Sebut Lettu Eko Meninggal karena Malaria, Dankormar: Untuk Jaga Marwah Keluarga

Nasional
Yasonna Berharap Program PPHAM Dilanjutkan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran

Yasonna Berharap Program PPHAM Dilanjutkan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Di WWF 2024, Jokowi Ajak Semua Pihak Wujudkan Tata Kelola Air yang Inklusif dan Berkelanjutan

Di WWF 2024, Jokowi Ajak Semua Pihak Wujudkan Tata Kelola Air yang Inklusif dan Berkelanjutan

Nasional
KSP Sebut Bakal Pertimbangkan Nama-nama Pansel KPK Rekomendasi ICW

KSP Sebut Bakal Pertimbangkan Nama-nama Pansel KPK Rekomendasi ICW

Nasional
Kementan Rutin Kirim Durian Musang King, SYL: Keluarga Saya Tak Suka, Demi Allah

Kementan Rutin Kirim Durian Musang King, SYL: Keluarga Saya Tak Suka, Demi Allah

Nasional
Jokowi-Puan Bertemu di WWF 2024, Pengamat: Tidak Akan Buat Megawati Oleng

Jokowi-Puan Bertemu di WWF 2024, Pengamat: Tidak Akan Buat Megawati Oleng

Nasional
56.750 Jemaah Haji Tiba di Madinah, 6 Orang Dikabarkan Wafat

56.750 Jemaah Haji Tiba di Madinah, 6 Orang Dikabarkan Wafat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com