Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KPK Didorong Terapkan Pasal Pencucian Uang dalam Kasus Hadi Poernomo

Kompas.com - 24/04/2014, 08:30 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi diminta untuk mengusut kemungkinan Hadi Poernomo melakukan tindak pidana pencucian uang terkait jabatannya sebagai Direktur Jenderal Pajak pada 2002-2004. KPK menetap Hadi sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pengajuan keberatan pajak PT Bank Central Asia.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas berpendapat KPK perlu pula mendalami asal usul harta kekayaan Hadi yang pernah menjabat Dirjen Pajak dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tersebut. "Karena publik juga bertanya-tanya ketika Hadi jadi Dirjen Pajak mengenai kewajaran harta kekayaannya," kata dia saat dihubungi, Rabu (23/4/2014).

Dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), kata Firdaus, sudah dapat dilihat apakah harta Hadi wajar atau tidak. "Belum lagi yang ditempatkan di istri, sanak keluarga, segala macam. KPK juga bisa didorong, nanti selain tindak pidana korupsi dikenakan tindak pidana pencucian uang tergangtung alat buktinya."

Firdaus menduga kemungkinan KPK bakal menemukan indikasi tindak pidana pencucian uang dalam proses pengembangan kasus dugaan korupsi perpajakan yang menjerat Hadi. Berkaca pada kasus mantan pegawai pajak Gayus H Tambunan, menurut Firdaus, ada kecenderungan pegawai pajak memiliki harta yang fantastis.

Sebelumnya, Gayus divonis bersalah dalam sejumlah kasus, seperti penggelapan pajak, penerimaan gratifikasi, dan pencucian uang. "Penambahan harta tidak wajar, apakah didapat dari permainan perpajakan atau rekayasa perpajakan, kalau dimungkinkan ini dikembangkan ke arah TPPU-nya, tapi tetap KPK harus berdasarkan alat bukti," imbuh Firdaus.

Berdasarkan LHKPN yang disampaikan Hadi pada 2010, nilai kekayaan Hadi mencapai Rp 38,8 miliar. Sebagian besar hartanya tercatat diperoleh melalui hibah atau pemberian. Harta Hadi yang berupa lahan dan bangunan ada yang diperoleh sebelum 2002.

Terkait harta yang diperoleh sebelum 2002 ini, Firdaus membenarkan KPK tidak bisa menerapkan TPPU karena UU yang mengatur soal pidana ini baru terbit pada 2002. Namun, menurut dia KPK harus mengecek terlebih dahulu apakah betul harta tersebut memang diperoleh sebelum 2002.

"Dicek saja, divalidasi dokumennya. Bisa saja kan, kita belum mengecek penambahan hartanya pada 2001, 2006, LHKPN 2010, jumlah asetnya segala macam ya, ini bisa dikembangkan lebih lanjut perolehan tahun-tahun sebelumnya, bisa saja perolehannya dibuat mundur," papar Firdaus.

ICW, ujar Firdaus, mendorong KPK untuk menjadikan kasus Hadi sebagai pintu masuk membongkar kasus perpajakan yang lain. Dia juga meminta lembaga antikorupsi itu mengusut dugaan keterlibatan pihak lain dalam kasus Hadi.

Selain itu, Firdaus meminta KPK mengusut kemungkinan indikasi suap atau gratifikasi yang diterima Hadi selama menjabat Dirjen Pajak. Dia menilai mustahil jika Hadi diduga melakukan penyalahgunaan wewenang terkait permohonan keberatan pajak BCA tanpa memperoleh keuntungan apa pun dari bank tersebut.

"Karena kan kalau kita lihat kan penyelewenangan biasanya ada modus suap gratifikasi, harus dilihat siapa pemberi, korporasi, lalu melalui apa. Itu paling tidak awalnya," tutur Firdaus. Saat mengumumkan penetapan Hadi sebagai tersangka pada 21 April 2014, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan tetap ada kemungkinan Hadi terjerat pasal pencucian uang.

Namun, ujar Bambang, kemungkinan KPK menjerat Hadi dengan pasal pencucian uang itu tergantung pada perkembangan penyidikan kasus dugaan korupsi terkait permohonan keberatan pajak BCA yang sudah menjerat Hadi. Saat ini, imbuh dia, KPK fokus pada dugaan korupsi terkait keberatan pajak BCA itu terlebih dahulu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com