Sebelum kasus di JIS mencuat, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri juga tengah menangani kasus serupa dengan modus berbeda di Surabaya, Jawa Timur. Tim Cyber Crime Dittipideksus Bareskrim Polri menangkap Tjandra Adi Gunawan (37), Kamis (27/3/2014), dengan dugaan terlibat jaringan paedofilia internasional.
Kepala Subdit Cyber Crime Dittipideksus Bareskrim Polri Kombes Rahmad Wibowo mengatakan, Tjandra beraksi menggunakan akun palsu di laman Facebook. "Pelaku menggunakan identitas seorang dokter perempuan yang menawarkan jasa konsultasi gratis untuk alat reproduksi," ujar dia, Kamis (17/4/2014).
Dari hasil pemeriksaan sementara, kata Rahmad, Tjandra hanya butuh waktu 30 sampai 60 menit untuk membujuk korban menyerahkan foto alat pribadinya. Diduga, Tjandra sudah beraksi sejak 2014, dengan temuan tak kurang dari 10.000 foto porno yang didominasi gambar anak di bawah umur. Adapun korban yang sudah diketahui baru enam orang, dengan rentang usia 10-14 tahun.
Gunung es
Bareskrim Polri sebenarnya telah memiliki perangkat lunak canggih yang dapat mengungkap kasus pelecehan anak melalui media internet. Nama perangkat lunak itu adalah Child Exploitation Tracking System (CETS).
Delapan kepolisian daerah telah memiliki CETS, yakni polda untuk wilayah Sumatera Utara, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Namun, kata Rahmad, kehadiran perangkat tersebut tak bisa optimal ketika hanya sedikit keluarga korban yang berani melaporkan kasus yang menimpa anaknya kepada kepolisian.
“Seperti kasus kemarin, dari enam orang yang menjadi korban, hanya satu keluarga yang lapor. Bahkan, ada keluarga korban yang sampai tidak mengakui jika foto itu merupakan foto anak mereka, meski telah tersebar di media sosial,” ujar Rahmad. Banyak keluarga korban yang berpendapat bahwa aib tersebut tak perlu diungkap lebih luas.
Dalam dua tahun terakhir, lanjut Rahmad, hanya tiga kasus yang ditangani Subdit Cyber Crime terkait kejahatan pornografi anak yang mengarah paedofilia di dunia maya. Dia mengatakan, informasi soal kasus-kasus ini pun kerap datang dari lembaga atau institusi lain.
"Seperti kasus yang terjadi pertenghan 2012 lalu, kami menangkap orang Inggris yang tinggal di Indonesia karena menjadi pelaku paedofilia. Saat itu, kami mendapat informasi dari sebuah lembaga di Inggris yang concern menangani persoalan anak-anak,” kata Rahmad.
Menurut Rahmad, kasus paedofilia merupakan fenomena gunung es. "Korban sebetulnya banyak, tetapi yang berani mengungkap sedikit," kata dia. Karenanya, di permukaan, kasus seperti ini seolah tak banyak terjadi, padahal ada banyak kejadian tak terungkap.
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Subdit Perjudian dan Asusila (Judisila) Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri AKBP Dwi Kornansiwaty sependapat dengan fenomena gunung es ini. Menurut dia, setidaknya ada 1.635 kasus asusila anak sepanjang 2013.
Rincian kasusnya, sebut Dwi, 614 pencabulan, 374 persetubuhan, dan 647 kekerasan fisik. Dia mengatakan, sulitnya pengungkapan kasus paedofilia juga terjadi karena faktor trauma mendalam dari para korban. Trauma itu menyebabkan mereka kesulitan menceritakan kasus kekerasan seksual yang dialaminya, sekalipun kepada orangtua mereka sendiri.
“Mana mungkin dia menjelaskan kepada orangtuanya kalau dia mengalami kekerasan seksual. Nggak bisa mereka menjelaskan, sangat tidak bisa. Korban yang JIS itu menjelaskannya pakai bahasa anak-anak sekali. Jadi susah sekali,” kata Dwi saat berbincang dengan Kompas.com di kantornya, Kamis.
Kesulitan lain, kata Ansi, jarang ada saksi yang tahu ketika kekerasan seksual terhadap anak-anak itu terjadi. Pada kasus JIS, misalnya, kejadian baru terungkap setelah orangtua korban curiga dengan tindak tanduk anaknya yang tak biasa.