JAKARTA, KOMPAS.com - Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dinilai tidak berhak menghilangkan tokoh-tokoh yang selama ini masuk dalam bursa calon presiden 2014. Jika tokoh tertentu dihilangkan, maka akan muncul penilaian tendensius untuk kepentingan calon tertentu.
"Survei harusnya memberi peluang bagi semua nama yang sudah disebut. Bukan hak lembaga survei untuk mengeliminir. Saya lihat itu (LSI) survei yang memiliki aroma tendensius," kata Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute Gun Gun Heryanto saat diskusi Meneropong Independensi Survei Politik di Jakarta, Selasa (22/10/2013).
Hal itu dikatakan Gun Gun menyikapi rilis LSI yang mengabaikan dua bakal capres terkuat untuk saat ini, yakni Joko Widodo alias Jokowi dan Prabowo Subianto. LSI membuat indeks capres 2014 dengan tiga variabel, yakni capres yang dicalonkan tiga partai terbesar, capres yang menjadi struktur partai, dan capres hasil konvensi Demokrat.
Gun Gun mengatakan, semestinya LSI mengkomparasikan tokoh-tokoh yang sudah lebih dulu muncul dalam survei pilpres seperti Prabowo dengan tokoh baru. Jika belakangan nama-nama lama dihilangkan, maka dapat menimbulkan kecurigaan publik bahwa ada kepentingan tertentu dari survei tersebut.
Gun Gun menilai terlalu prematur jika LSI menyebut Jokowi sebagai capres wacana. Pasalnya, proses politik masih terus berjalan. Bisa jadi, kata dia, belum ditetapkannya Jokowi sebagai bakal capres oleh PDI Perjuangan bagian dari strategi politik.
Begitu pula dengan sikap LSI yang menghilangkan Prabowo hanya karena elektabilitas Partai Gerindra tidak berada di tiga besar. Gun Gun mengatakan, LSI mesti melihat pemilu 2004 . Ketika itu, suara Partai Demokrat di pemilu legislatif hanya sekitar 7 persen. Namun, dengan koalisi, Susilo Bambang Yudhoyono dapat memenangkan Pilpres 2014.
Pengajar ilmu politik di UIN Syarif Hidayatullah itu melihat ada upaya LSI untuk mengelola isu bahwa Aburizal Bakrie alias Ical juga merupakan kandidat capres yang diperhitungkan. Langkah itu dilakukan setelah semakin tingginya elektabilitas Jokowi dan Prabowo.
Jika sudah terbentuk konstruksi sosial yang solid terhadap dua orang itu, lanjutnya, maka akan sulit untuk mengalahkan di dunia nyata. Seperti ketika menjelang pilpres 2009, SBY dikonstruksikan sulit dikalahkan. Nyatanya, SBY menang satu putaran.
"Ini sama, kalau pemilu dilakukan sekarang, Jokowi yang menang," pungkas Gun Gun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.